Rabu, 25 Juli 2012

Euthanasia Ditinjau dari Aspek Hukum Pidana di Indonesia


BAB I

PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Dengan pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern, mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang sangat cepat di dalam kehidupan sosial budaya manusia. Hampir semua problema, ruang gerak dan waktu telah dapat terpecahkan oleh tekhnologi dan modernitas. Disamping manusia menjadi semakin cakap menyelenggarakan hidupnya, meningkat pula kemakmuran hidup materilnya, berkat makin cepatnya penerapan-penerapan tekhnologi modern itu.
Diantara sekian banyak penemuan-penemuan teknologi tersebut, tidak kalah pesatnya perkembangan teknologi dibidang medis. Dengan perkembangan teknologi dibidang kedokteran ini, bukan tidak mustahil akan mengundang masalah pelik dan rumit. Melalui pengetahuan dan teknologi kedokteran yang sangat maju tersebut, diagnosa mengenai suatu penyakit dapat lebih sempurna untuk dilakukan. Pengobatan penyakitpun dapat berlangsung secara efektif. Dengan peralatan kedokteran yang modern itu, rasa sakit seorang penderita dapat di peringan. Hidup seseorangpun dapat di perpanjang untuk suatu beberapa jangka waktu tertentu, dengan memasang sebuah respirator. Bahkan perhitungan saat kematian seorang penderita penyakit tertentu, dapat dilakukan secara lebih tepat, di samping itu di beberapa Negara maju bahkan sudah dapat melakukan apa yang disebut dengan istilah birth technology dan biological engineering. Dengan demikian masalah cepat atau lambatnya proses kematian seseorang penderita suatu penyakit, seolah-olah dapat diatur oleh teknologi yang modern tersebut.       
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, serta diakhiri dengan kematian. Dari proses siklus kehidupan tersebut, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri besar, & ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya. Untuk dapat menentukan kematian seseorang sebagai individu diperlukan kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan hak dari Tuhan. Tak seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat waktu kematian. Tapi, bagaimana dengan hak pasien untuk mati guna menghentikan penderitaannya?
Hak pasien untuk mati, yang seringkali dikenal dengan istilah euthanasia, sudah kerap dibicarakan oleh para ahli. Namun masalah ini akan terus menjadi bahan perdebatan, terutama jika terjadi kasus-kasus menarik. Adakah sesuatu yang istimewa yang membuat euthanasia selalu menarik untuk dibicarakan? Para ahli agama, moral, medis, & hukum belum menemukan kata sepakat dalam menghadapi keinginan pasien untuk mati guna menghentikan penderitaannya. Situasi ini menimbulkan dilema bagi para dokter, apakah ia mempunyai hak hukum untuk mengakhiri hidup seorang pasien atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, dengan dalih mengakhiri penderitaan yang berkepanjangan, tanpa dokter itu sendiri menghadapi konsekuensi hukum. Sudah barang tentu dalam hal ini dokter tersebut menghadapi konflik dalam batinnya.
Sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik mengenai euthanasia (Mercy Killing). Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas permintaan sendiri sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang. Konsep Euthanasia sekarang ini masih menjadi perdebatan para pakar hukum, ada yang setuju tentang euthanasia dan ada pula pihak yang tidak setuju tentang euthanasia. Pihak yang menyetujui euthanasia mengemukakan pendapat berdasarkan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan segera dengan alasan kemanusiaan. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Sementara sebagian pihak yang tidak membolehkan euthanasia beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia.
Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang dipakai sangatlah bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut adalah masalah legalitas dari perbuatan euthanasia. Walaupun pada dasarnya tindakan euthanasia termasuk dalam perbuatan tindak pidana yang diatur dalam pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia mendapatkan tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara Jepang. Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan.
Ada tiga petunjuk yang dapat digunakan untuk menentukan syarat prasarana luar biasa. Pertama, dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah tidak dapat disembuhkan lagi. Kedua, harga obat dan biaya tindakan medis sudah terlalu mahal. Ketiga, dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau tindakan medis tersebut. Dalam kasus-kasus seperti inilah orang sudah tidak diwajibkan lagi untuk mengusahakan obat atau tindakan medis. Bahkan, euthanasia dengan menyuntik mati disamakan dengan tindakan pidana pembunuhan. Alternatif terakhir yang mungkin bisa diambil adalah penggunaan sarana via extraordinaria. Jika memang dokter sudah angkat tangan dan memastikan secara medis penyakit tidak dapat disembuhkan serta masih butuh biaya yang sangat besar jika masih harus dirawat, apalagi perawatan harus diusahakan secara ekstra, maka yang dapat dilakukan adalah memberhentikan proses pengobatan dan tindakan medis di rumah sakit.
Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus yang terakhir yang pengajuan permohonan euthanasia oleh suami “Again” ke Pengadilan Negeri Jakarta, belum dikabulkan, pada akhirnya sembuh dari komanya dan dinyatakan sehat oleh dokter.
Menyinggung masalah kematian, menurut cara terjadinya, maka ilmu pengetahuan membedakannya ke dalam tiga jenis kematian, yakni :
1.    Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena suatu proses alamiah.
2.    Dysthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi secara tidak wajar
3.    Buthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter. (Sinar Harapan, 1977 ; 8)
Jenis kematian yang ketiga yaitu euthanasia ini, mulai menarik perhatian  dan mendapat sorotan dunia, lebih-lebih setelah dilangsungkannya konvrensi Hukum se-Dunia, yang diselenggarakan oleh World Peace Through Law Center di Manila (Filipina), tanggal 22 dan 23 Agustus  1977. Dalam konverensi Hukum se-Dunia tersebut, telah diadakan sidang Peradilan Semu (Sidang Tiruan), mengenai “hak manusia untuk mati” atau the right to die. Yang berperan dalam sidang tersebut adalah tokoh-tokoh di bidang hukum dan kedokteran  dari berbagai Negara di dunia, sehingga mendapat perhatian yang sangat besar.
Sebenarnya mengenai hak asasi manusia, di indonesia sendiri mengaturnya sudah banyak tersebar dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan berbagai perundang-undangan Republik Indonesia yang lain, namun masalahnya, bahwa saat ini baru merupakan moral right dan belum merupakan Positive right.
Tantangan bagi masyarakat umum adalah menggalakkan peningkatan hak-hak asasi warga negara Republik Indonesia itu dari moral Right menjadi possitive right sehingga baik dalam perundang-undangan maupun praktek, negara Indonesia adalah benar-benar merupakan Negara Hukum, yang menghormati hak-hak asasi warga negaranya.
Berbicara mengenai hak-hak asasi manusia tidaklah semata-mata merupakan persoalan hukum saja, tetapi juga merupakan persoalan sosial budaya, ekonomi, sosial, politik suatu bangsa.dengan demikian masalahnya sangat kompleks, yang meliputi seluruh peri kehidupan manusia di dalam suatu Negara.
Hak kodrat daripada manusia yang paling utama adalah hak untuk hidup atau the right to life. Di dalam pengertian “hak untuk hidup” ini tercakup pula adanya “hak untuk mati” atau the right to die. Mengenai “hak untuk hidup” telah diakui dunia, dengan dimasukkan dan diakuinya Universal Declaration Of Human Rights oleh PBB tanggal 10 Desember 1948. sedangkan mengenai “hak untuk mati” karena tidak dicantumkan secara tegas dalam suatu deklarasi dunia, maka masih dalam perdebatan dan pembicaraan di kalangan ahli berbagai bidang di dunia, seperti diperagakan dalam Peradilan semu, dalam rangka Konvensi Hukum  se-Dunia beberapa tahun yang lalu di Manila. Ada beberapa negara yang berpendapat bahwa masalah hidup dan mati itu adalah merupakan hak daripada Tuhan Yang Maha Esa, bukan hak daripada manusia. Pada umumnya pendapat itu didasarkan atas pertimbangan segi religius. Disamping itu dibeberapa negara maju, seperti Amerika Serikat masalah “hak untuk mati”, sudah diakui bahkan di Negara-negara bagian, ada yang mengaturnya secara jelas dalam berbagai perundang-undangan.
Kendatipun telah diakui dalam berbagai perundang-undangan, namun masih diakui pula bahwa “hak untuk mati” itu tidak bersifat mutlak. Jadi masih terbatas dalam suatu keadaan tertentu, misalnya bagi penderita suatu penyakit yang sudah tidak dapat lagi diharapkan penyembuhannya dan pengobatan yang diberikan sudah tidak berpotensi lagi. Bagi penderita suatu penyakit yang sudah demikian  tersebut, diakui dan diperbolehkan menggunakan “hak untuk matinya” dengan jalan meminta kepada dokter untuk menghentikan pengobatan yang selama ini diberikan kepadanya, ataupun dengan jalan meminta agar diberikan obat penenang dengan dosis yang tinggi.
Dengan demikian maka penderita suatu penyakit yang tak menentu nasibnya tersebut akan mati dengan tenang. Bagi negara yang telah mengakui keberadaan “hak untuk mati” maka perbuatan dokter yang telah membantu untuk melaksanakan permintaan seorang pasien atau dari keluarganya seperti yang diuraikan diatas, mempunyai kekebalan terhadap criminal liability, maupun terhadap civil liability.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, mengenai “hak untuk hidup” dan “hak untuk mati” akan menyangkut masalah hukum pidana yang disebut sebagai Euthanasia atau mercy killing, yang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita diatur dalam Pasal 344 KUHP. Berpangakal tolak dari hal tersebutlah, yang mendorong penulis untuk menyusun skripsi dengan judul : Euthanasia di Tinjau dari Aspek Hukum Pidana Indonesia”

B.     Rumusan Masalah
Sesuai dengan judul “Euthanasia di tinjau dari Aspek Hukum Pidana Indonesia”, maka masalah yang akan dibahas adalah Apakah Euthanasia sesuai dengan Hukum Pidana Indonesia?

C.     Tujuan Penelitian
Dalam pelaksanaan suatu kegiatan pada dasarnya memiliki suatu tujuan tertentu, dalam penelitian ini pun perlu adanya tujuan yang berfungsi sebagai awal pokok terhadap masalah yang diteliti. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Perspektif Euthanasia dalam Hukum positif di Indonesia.

D.     Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis pribadi dan para pembaca pada umumnya, yaitu antara lain :
1.   Bagi peneliti sebagai bahan informasi ilmiah dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya mengenai Euthanasia dilihat dari aspek hukum.
2.   Bagi mahasiswa hukum, untuk memberi tambahan referensi bagi kepentingan penelitian terhadap masalah Euthanasia di Indonesia.
3.   Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap lembaga pemerintahan untuk mengetahui mengenai euthanasia di Indonesia
4.   Dapat dipergunakan sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan langsung dengan hasil penelitian ini.
5.   Memberikan kepada masyarakat luas tentang bagaimana kedudukan Euthanasia di Indonesia

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.   Pengertian Euthanasia dan Ruang Lingkupnya
1.    Pengertian Euthanasia
Kata Euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu "eu" ( baik) dan "thanatos" (maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti "kematian yang baik". Hippokrates pertama kali menggunakan istilah "euthanasia" ini pada " sumpah Hippokrates" yang ditulis pada masa 400-300 SM.
Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu". (Utomo, 2003: 177)
Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Sedangkan secara harafiah, euthanasia tidak dapat diartikan sebagai pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang. Menurut Philo (50-20 SM), euthanasia berarti mati dengan tenang & baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya Vita Caesarum mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita”. (http://id.wikipedia.org/wiki/Etanasia)
Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat "bunuh diri" ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan.
Mengenai euthanasia, dapat digunakan dalam tiga arti: (Djoko Prakoso, 1984 ; 28)
1.   Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir,
2.   Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut) penderitaan pasien diperingan dengan memberikan obat penenang,
3.   Mengakhiri penderitaan dari seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Adapun unsur-unsur dalam pengertian euthanasia dalam pengertian diatas adalah: (Djoko Prakoso, 1984 ; 28)
1.   Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu,
2.   Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien,
3.   Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan,
4.   Atas permintaan pasien dan keluarganya,
5.   Demi kepentingan pasien dan keluarganya.
2.    Ruang Lingkup Euthanasia

a.    Euthanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya

Ditinjau dari sudut maknanya maka Euthanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu Euthanasia pasif, Euthanasia agresif dan Euthanasia non agresif
·            Euthanasia agresif : atau suatu tindakan euthanasia aktif yaitu suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya dengan memberikan obat-obatan yang mematikan seperti misalnya pemberian tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien.
·            Euthanasia non agresif : atau kadang juga disebut autoeuthanasia (euthanasia otomatis)yang termasuk kategori etanasia negatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan sipasien mengetahui bahwa penolakannya tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Auto-euthanasia pada dasarnya adalah suatu praktek Euthanasia pasif atas permintaan.
·            Euthanasia pasif : juga bisa dikategorikan sebagai tindakan euthanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit. Tindakan pada euthanasia pasif ini adalah dengan secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan Antibiotika kepada penderita pneumonia berat ataupun meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun dengan cara pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin  walaupun disadari bahwa pemberian morfin ini juga dapat berakibat ganda yaitu mengakibatkan kematian. Euthanasia pasif ini seringkali secara terselubung dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan Euthanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis, maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang atau keputusasaan keluarga karena ketidak sanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Ini biasanya terjadi pada keluarga pasien yang tidak mungkin untuk membayar biaya pengobatannya, dan pihak rumah sakit akan meminta untuk dibuat "pernyataan pulang paksa". Bila meninggal pun pasien diharapkan mati secara alamiah. Ini sebagai upaya defensif medis.
(http://www.solusihukum.com/kasus2)

b.     Euthanasia ditinjau dari sudut pemberian izin

Ditinjau dari sudut pemberian izin maka euthanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
·            Euthanasia di luar kemauan pasien : yaitu suatu tindakan euthanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan euthanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
·            Euthanasia secara tidak sukarela : Euthanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.
·            Euthanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial.

c.    Euthanasia  ditinjau dari sudut tujuan

Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya euthanasia antara lain yaitu :
·            Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
·            Euthanasia hewan
·            Euthanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada euthanasia agresif secara sukarela
Membunuh bisa dilakukan secara legal. Itulah euthanasia, pembuhuhan legal yang sampai kini masih jadi kontroversi. Pembunuhan legal ini pun ada beragam jenisnya.
Secara umum, kematian adalah suatu topik yang sangat ditakuti oleh publik. Hal demikian tidak terjadi di dalam dunia kedokteran atau kesehatan. Dalam konteks kesehatan modern, kematian tidaklah selalu menjadi sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Kematian dapat dilegalisir menjadi sesuatu yang definit dan dapat dipastikan tanggal kejadiannya. Euthanasia memungkinkan hal tersebut terjadi.
Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seorang individu secara tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk meringankan penderitaan dari individu yang akan mengakhiri hidupnya. (Djoko Prakoso, 1984 : 72)
Ada empat metode euthanasia: (Muladi, 1977 : 24)
·      Euthanasia sukarela: ini dilakukan oleh individu yang secara sadar menginginkan kematian.
·      Euthanasia non sukarela: ini terjadi ketika individu tidak mampu untuk menyetujui karena faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental. Sebagai contoh dari kasus ini adalah menghentikan bantuan makanan dan minuman untuk pasien yang berada di dalam keadaan vegetatif (koma).
·      Euthanasia tidak sukarela: ini terjadi ketika pasien yang sedang sekarat dapat ditanyakan persetujuan, namun hal ini tidak dilakukan. Kasus serupa dapat terjadi ketika permintaan untuk melanjutkan perawatan ditolak.
·      Bantuan bunuh diri: ini sering diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk euthanasia. Hal ini terjadi ketika seorang individu diberikan informasi dan wacana untuk membunuh dirinya sendiri. Pihak ketiga dapat dilibatkan, namun tidak harus hadir dalam aksi bunuh diri tersebut. Jika dokter terlibat dalam euthanasia tipe ini, biasanya disebut sebagai ‘bunuh diri atas pertolongan dokter’. Di Amerika Serikat, kasus ini pernah dilakukan oleh dr. Jack Kevorkian.


B.       Euthanasia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai “kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan”. Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini adalah mercy killing (Tongat, 2003 :44). Sementara itu menurut Kamus Kedokteran Dorland, euthanasia mengandung dua pengertian. Pertama, suatu kematian yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan dengan kemurahan hati, pengakhiran kehidupan seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hati-hati dan disengaja. (Tongat, 2003 : 44)
Secara konseptual dikenal tiga bentuk euthanasia, yaitu :
1.     voluntary euthanasia (euthanasia yang dilakukan atas permintaan  pasien itu sendiri karena penyakitnya tidak dapat disembuhkan dan dia tidak sanggup menahan rasa sakit yang diakibatkannya);
2.     Non voluntary euthanasia (di sini orang lain, bukan pasien, mengandaikan, bahwa euthanasia adalah pilihan yang akan diambil oleh pasien yang berada dalam keadaan tidak sadar tersebut jika si pasien dapat menyatakan permintaannya);
3.     involuntary euthanasia (merupakan pengakhiran kehidupan pada pasien tanpa persetujuannya). (Utomo, 2003: 175).
Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban tersendiri bagi Pakar hukum. Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah persoalan euthanasia akan bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif memberikan regulasi/pengaturan terhadap persoalan euthanasia akan sangat membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-lebih di tengah kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra tentang legalitasnya. (http://mytaste.wordpress.com/euthanasia)
Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal 2 bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri dan euthanasia yang dilakukan dengan sengaja melakukan pembiaran terhadap pasien/korban sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 dan 304 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan : (Moeljatno, 2005 : 116)
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”
Sementara dalam pasal 304 KUHP dinyatakan:
“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara,padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan,perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu,diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”  

Dari bunyi pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak diperbolehkan melakukan pembunuhan terhadap orang lain, walaupun pembunuhan itu dilakukan dengan alasan membiarkan dan atas permintaan orang itu sendiri . Sulit rasanya membayangkan  seseorang yang sampai hati “membunuh’ atau dengan perkataan lain “merampas nyawa” orang lain apalagi yang dikenalnya atau yang perlu ditolongkan, atas permintaan yang bersangkutan yang tengah menderita sakit parah yang tak tersembuhkan misalnya. Pasti makin sulit lagi, kalau ini dikaitkan lebih lanjut dengan masalah moral dan kemanusiaan. Namun dalam masa-masa mendatang, karena sesuatu hal tidak mustahil permasalahan merampas nyawa orang lain yang sangat dikasihani atau yang perlu untuk ditolong atau membiarkan nyawanya dirampas maut atas permintaan yang bersangkutan, kiranya sulit untuk dihindari. (Muljatno, 1971 :  117)
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 dan 304 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan dengan sengaja membiarkan sengsara dan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
Mengacu pada ketentuan tersebut di atas, maka munculnya kasus permintaan tindakan medis untuk mengakhiri kehidupan yang muncul akhir-akhir ini (kasus Hasan Kesuma yang mengajukan suntik mati untuk istrinya, Ny. Agian dan terakhir kasus Rudi Hartono yang mengajukan hal yang sama untuk istrinya, Siti Zuleha) perlu dicermati secara hukum. (http://www.solusihukum.com/kasus2.php)
Kedua kasus ini secara konseptual dikualifikasi sebagai non voluntary euthanasia, tetapi secara yuridis formal (dalam KUHP) dua kasus ini tidak bisa dikualifikasi sebagai euthanasia sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP. Secara yuridis formal kualifikasi (yang paling mungkin) untuk kedua kasus ini adalah pembunuhan biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP, atau pembunuhan berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan : (Moeljatno, 2005: 114)
“ Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.



Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dinyatakan :
“ Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.

Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga dinyatakan :
 “Kejahatan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”.

Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan,
“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”.

Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan : “Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”.
Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia. (Moeljatno, 2005 : 121)
Sebelumnya jika kita memperhatikan pasal-pasal yang menyangkut jiwa manusia dalam KUHP tersebut diatas, maka kitapun dapat mengetahui bagaimana sebenarnya pembentuk undang-undang ini, pandangannya terhadap jiwa manusia itu. Secara singkat, dari sejarah pembentukan KUHP dapat diketahui, bahwa pembentuk undang-undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda), juga menganggap bahwa Jiwa manusia sebagai miliknya yang paling berharga, dibandingkan miliknya yang paling berharga dibandingkan dengan milik manusia lainnya. Oleh sebab itu, setiap perbuatan apapun motif dan coraknya sepanjang perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan jiwa manusia, hal ini dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar  oleh Negara, selalu dilindungi Negara. Dalam hal ini tidak boleh dilupakan adanya dua kepentingan yakni kepentingan masyarakat dan kepentingan individu yang dituntut.
“Kepentingan masyarakat, bahwa seseorang telah melanggar suatu peraturan hukum pidana, harus mendapatkan hukuman yang setimpal dengan kesalahannya, guna keamanan masyarakat dan kepentingan orang yang dituntut, bahwa ia harus diperlakukan sedemikian rupa sehingga jangan sampai orang yang tidak berdosa mendapat hukuman, atau kalau memang ia berdosa, jangan sampai ia mendapatkan hukuman yang terlalu berat, tidak seimbang dengan kesalahannya”. (Wirjono Prodjodikoro, R, 1977 : 16).
Pandangan dari pembentuk Undang-Undang Hindia Belanda itu rupanya masih tetap dianut oleh pemerintah sekarang masa orde baru. Ini terbukti bahwa dalam KUHP sendiri, perihal keselamatan dan keamanan jiwa manusia masih dijamin dengan tanpa perubahan sedikitpun. Memang merupakan kenyataan sampai sekarang, bahwa tanpa membedakan agama, ras, warna kulit dan ideology, tentang keselamatan dan keamanan jiwa manusia Indonesia dijamin oleh Undang-Undang. Hal ini juga merupakan pencerminan daripada prinsip Equality before the law yang tentunya harus juga diterapkan terhadap keamanan dan keselamatan jiwa manusia.
Dalam pasal , kalimat “permintaan sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati” haruslah mendapatkan perhatian, karena unsur inilah yang akan menentukan apakah orang yang melakukannya dapat dipidana berdasarkan 344 KUHP . Agar supaya unsur ini tidak disalahgunakannya, maka dalam menentukan benar tidaknya seseorang telah melakukan pembunuhan karena kasihan ini, unsur permintaan yang tegas (unitdrukkelijk), dan unsur sungguh (ernstig), harus dapat dibuktikan baik dengan adanya saksi atau pun oleh alat-alat bukti yang lainnya, sebagaimana disebutkan dalam pasal 295 HIR sebagai berikut : (Utomo, 2003: 126)
Sebagai upaya bukti menurut undang-undang, hanya diakui :
1.    Kesaksian-kesaksian
2.    Surat-surat
3.    Pengakuan
4.    Isyarat-isyarat.
Jadi apabila kita perhatikan pasal 344 KUHP tersebut diatas, agar seseorang dapat dikatakan telah memenuhi pasal itu, maka public prosecutor (penuntut umum/jaksa) harus dapat membuktikan adanya unsur “permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati”. (Karjadi, 1975 : 84)
Dengan kemajuan teknik yang pesat, khususnya dalam dunia kedokteran, hal “merampas nyawa” atau membiarkan orang yang nyawanya dirampas maut”, baik atas permintaan sendiri karena suatu penyakit yang sangat mustahil dapat disembuhkan, maupun atas dasar perikemanusiaan karena tidak tahan melihat yang bersangkutan menderita, pasti menimbulkan berbagai komplikasi, antara lain yang menyangkut bukan saja masalah etika kedokteran, atau terlebih-lebih menyangkut hukum pidana, yang bertalian dengan masalah Euthanasia atau “Mercy Kelling”.
Dalam hal ini Bruce Vediga dalam tulisannya “Euthanasia and the right to die, moral and legal perspective”. Mengungkapkan bahwa masalah Euthanasia bukan saja masalah sematik, tetapi juga masalah Substansi.
Berkaitan dengan masalah Euthanasia ini, maka Dr. J.E, Sahetapy S.H., didalam tulisannya pada Majalah Badan Pembinaan Hukum Nasional, membedakan Euthanasia ini kedalam tiga jenis yaitu :
1.    Action  to permit death to Occur
2.    Failure to take action to prevent death
3.    Positive action to couse death
Dari ketiga perbedaan Euthanasia tersebut diatas, dapat dijelaskan bahwa pada jenis Euthanasia yng pertama, kematian dapat terjadi karena pasien dengan sungguh-sungguh dan secara cepat menginginkan untuk mati. Dalam hal ini pasien sadar dan tahu bahwa penyakit yang dideritanya itu tidak akan disembuhkan walaupun diadakan pengobatan dan perawatan secara baik. Oleh sebab itu, pasien tersebut kemudian meminta kepada dokter agar dokter tidak usah memberikan pengobatan kepadanya guna penyembuhan terhadap penyakit yang dideritanya itu. Disamping itu pasien meminta untuk tidak diadakan perawatan di Rumah Sakit lagi, namun supaya dibiarkan saja dirumah pasien sendiri. Pasien tersebut akan merasa bahagia, bahwa ia akan segera mati dengan tenang disamping keluarganya. Dalam hal ini memberikan izin  segala permohanan pasien itu. Jadi kematian si pasien itu terjadi seolah-olah merupakan kerjasama si pasien dan dokter yang semula merawatnya. Jenis euthanasia inilah yang biasa disebut sebagai euthanasia dalam arti yang pasif (Permission). (Sahetapi, 1976 : 23)
Berbeda dengan jenis Euthanasia yang pertama, maka pada jenis  Euthanasia yang kedua, kematian terjadi karena kelalaian atau kegagalan dari seorang dokter dalam mengambil tindakan untuk mencegah adanya kematian.hal ini terjadi bilamana dokter akan mengambil suatu tindakan untuk guna mencegah kematian, akan tetapi ia tidak mengerjakan sesuatu apa-apa, karena ia tahu bahwa pengobatan yang akan diberikan kepada pasien itu adalah sia-sia belaka. Jika ia akan memberikan  pengobatan, maka dipandang sebagai suatu tindakan yang tidak berarti, sehingga sudah tidak ada lagi untuk penyembuhan secara normal. Akhirnya pasien dibiarkan begitu saja, sampai ajalnya tiba dengan sendirinya. Pada dasarnya Euthanasia jenis yang kedua ini adalah sama dengan jenis Euthanasia jenis yang pertama. Letak perbedaannya adalah pada tindakan membiarkan pasien mati dengan sendirinya tanpa mengadakan pencegahan. Jika pada jenis yang pertama, tindakan membiarkan ini muncul karena adanya persetujuan dari kedua belah pihak, yaitu persetujuan antara pasien dan dokter yang merawatnya, sedangkan pada jenis yang kedua, maka tindakan itu timbul hanya dating dari salah satu pihak saja, yaitu dari dokter yang merawatnya.
Euthanasia jenis yang ketiga, merupakan tindakan yang positif dari dokter untuk mempercepat terjadinya kematian. Jadi berbeda dengan jenis yang pertama diatas, yang bersifat pasif. Maka pada jenis yang ketiga ini bersifat aktif (causation) dari tindakan yang aktif ini, seorang pasien akan segera mati dengan tenang, misalnya dengan memberikan injeksi dengan obat yang menimbulkan kematian, obat penghilang rasa kesadaran dalam dosis yang tinggi, dan lain-lain. (Sahetapi, 1976 : 26)
Antara Euthanasia jenis yang pertama dan yang ketiga ini, sama-sama didasarkan atas permintaan/desakan kepada dokter dari si pasien ataupun dari keluarganya. Hanya saja pada jenis yang pertama dokter bersifat pasif, sedang pada jenis yang ketiga dokter lebih bersifat aktif dalam mengambil tindakan  untuk mempercepat proses terjadinya kematian.
Apabila dikaitkan dengan ketiga jenis Euthanasia tersebut diatas, maka rumusan yang terdapat di dalam Pasal 344 KUHAP adalah sesuai dengan jenis euthanasia yang ketiga, yaitu euthanasia yang bersifat aktif. Namun masalahnya sekarang adalah apakah pasal 344 KUHP itu dapat diterapkan atau dapat dipakai sebagai dasar penuntutan oleh jaksa? Mengapa tidak!, kalau tidak pasti Pasal 344 KUHP itu tidak terciptakn. Tetapi ketika Pasal tersebut diciptakan oleh pemerintah colonial Belanda dahulu, dunia kedokteran masih belum semaju seperti sekarang ini. Bahkan dalam pasal tersebut dinyatakan secara jelas “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan sendiri” ditambah pula dengan kata-kata “ yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati” lopdiens uitdrukkelijk en ernsting verlange). Bahwa perumusan ini sudah pasti menimbulkan suatu kesulitan dalam proses pembuktian, karena dapat dibayangkan bahwa orang yang dinyatakan dengan kesungguhan hati itu sudah berpulang kealam baka. Oleh sebab itu, pernyataan dengan  kesungguhan hati ini tidak boleh diucapkan secara lisan, sebaiknya dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh saksi-saksi, sehingga pada proses pembuktiannya di Pengadilan nanti, surat pernyataan ini dapat dipakai sebagai alat bukti. (Djokoprakoso, 1984 : 83)
Timbul masalah lagi, bagaimana jika yang bersangkutan tidak mampu lagi berkomunikasi dalam bentuk dan dengan cara apapun, sehingga tidak dapat menyatakan dengan kesungguhan hati? Karena kita tahu bahwa dalam masalah Euthanasiaini biasanya pasien dalam keadaan mati tidak, hidup pun tidak (in a persistent vegetative state). Sebagai contoh yang sangat popular, adalah yang terjadi di Amerika Serikat yaitu kasus Karen Ann Quinlan yang telah berada dalam suatu “Persis tent vegetative state”. Mengenai kasus ini akan dibahas pada bab yang berikutnya. Dalam hal ini apakah seorang dokter dapat dituntut berdasarkan pasal 344 KUHP? Kalau dilihat dari perumusan Pasal tersebut, baik dalam konteks penafsiran yang dikenal dalam dunia ilmu hokum, maupun dalam bentuk penafsiran yang dikenal baru, maka menurut hemat kami pasal 344 KUHP ini sulit untuk dapat diterapkan. Apabila akan diterapkan pasal 344 KUHP merasa kesulitan, dapatkah penuntut umum (jaksa) menuduh seorang dokter berdasarkan Pasal 344 KUHP.
Apabila kita perhatikan lebih lanjut, dari ketiga Pasal tersebut diatas, yaitu Pasal 338. 340 dan 344 KUHP, ketiga-tiganya dalah mengandung makna larangan untuk membunuh. Selanjutnya Pasal 338 KUHP merupakan aturan umum daripada perampasan nyawa orang lain. Pasal 340 KUHP aturan khususnya, krena dengan dimasukkannya unsure “dengan rencana lebih dahulu”. Oleh sebab itu, pasal 340 KUHP ini biasa dikatakan sebagai Pasal Pembunuhan yang direncanakan atau pembunahan berencana. Begitu pula jika diperhatikan lebih lanjut, bahwa Pasal 344 KUHP pun merupakan aturan khusus daripada Pasal 338 KUHP. Hal ini, karena disampaing pasal 344 KUHP tersebut mengandung  makna perampasan nyawa atau pembunuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHP, pada Pasal 344 KUHP ditambahkan unsur “atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati”. Jadi masalah Euthanasia ini dapat menyangkut dua aturan hokum , yakni Pasal  338 dan Pasal 344 KUHP. Dalam hal ini terdpat apa yang disebut sebagai concursus idealis, yang merupakan sisitem pemberian pidana juga terjadi satu perbuatan pidana yang masuk dalam beberapa peraturan hokum. Concursus ideals ini diatur dalam Pasal 63 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyebutkan bahwa: (Moeljatno, 2005 : 27)
1.    Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yng memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
2.    Jika suatu perbuatan yang masuk dalam satu aturan pidana yang umum diatur pula dlam turan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.

Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas Lex Specialis de rogat legi generali, yaitu bahwa peraturan-peraturan yang khusus akan mendesak atau mengalahkan peraturan-peraturan yang sifatnya umum. Yang dimaksudkan sebagai peraturan khusus di sini adalah :
“Peraturan pidana yang mempunyai atau memuat unsure-unsur yang termuat dalam peraturan pidana yang umum, akan tetapi juga memuat peraturan-peraturan pidana yang tak termuat dalam peraturan pidana umum”.

Sehubungan dengan adanya Concursus idealsis ini, maka Hazewinkel Suringa (1993 ; 42), mengatakan sebagai berikut :
“Ada Concursus idealis, apabila pernyataan yang sudah memenuhi suatu rumusan delik, mau tidak mau juga masuk dalam pertauran pidana lain, baik karena bnyaknya peraturan-peraturan yang dibuat oleh pembentuk undang-undang, maupun karena diaktifkannya aturan-aturan lain berhubungan dengan cara dan tempat perbuatan itu dilakukan, orang yang melakukan dan obyek terhadap apa perbuatan itu dilakukan.”
Dengan adanya hal-hal tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa masalah Euthanasia yang menyangkut dua aturan hukum, yaitu Pasal 338 dan 344 KUHP, maka yang dapat diterapkan adalah masalah Pasal 344 KUHP. Apabila tidak terdapat asas Lex specialis derogate legi generali  yang disebutkan dalam Pasal 63 (2) KUHP itu, maka aturan pemidanaan yang dipakai adalah Pasal 338 KUHP. Hal ini disebabkan karena ancaman pidna penjara pada Pasal 338 yaitu 15 Tahun, lebih berat daripada ancaman pidana yang terdapat pada Pasal 344 KUHP (yang hanya 12 tahun). Hal ini dapat dimengaerti karena dalam Concursus ideais akan diterapkan system absorbsi, sebagaimana disebutkan pada Pasal 63 (1) KUHP, yang memilih ancaman pidanya yang terberat. Oleh sebab itu, didalam KUHP kita, hanya ada satu pasal saja yang mengatur tentang masalah Euthanasia, yaitu hanya Pasal 344 KUHP. (Simorangkir, 1979 : 19)

C.    Euthanasia dalam Ilmu Kedokteran
Tugas professional dokter begitu mulia dalam pengabdiannya kepada sesame manusia dan tanggung jawab dokter makin tambah berat akibat kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh ilmu kedokteran. Dengan demikian, maka setiap dokter perlu menghayati etik kedokteran, sehingga kemulyaan profesi dokter tersebut tetap terjaga dengan baik. Para dokter, umumnya semua pejabat dalam bidang kesehatan,harus memenuhi segala syart keahlian dan pengertian tentang susila jabatan. Keahlian di bidang ilmu dan tekhnik baru dapat member manfaat yang sebesar-besarnya. Kalau dalam prakteknya disertai oleh norma-norma etik dan moral. Hal tersebut diinsyafi oleh par dokter diselruh dunia, dan hamper tiap-tiap Negara telah mempunyai kode etik kedokterannya sendiri-sendiri. Pada umumnya kode etik tersebut didasarkan pada sumpah Hipocrates yang dirumuskan kembali dalam pernyataan himpunan Dokter sedunia di London bulan Okober 1949 dan diperbaiki oleh siding ke 22 Himpunan tersebut di Sydney bulan Agustus 1968. (Wibudi Aris, 2002 ; 12)
Sejak permulaan sejarah kedokteran, seluruh umat manusia mengakui serta mengetahui akan adanya beberapa sifat fundamental yang melekat secara mutlak pada diri sesseorang dokter yang baik dan bijkasana, yaitu kemurnian niat, kesungguhan dalam bekerja, kerendahan hati serta integritas ilmiah dan social yang tidak diragukan. Oleh sebab itulah, para dokter diseluruh dunia bermaksud berdasarkan tradisi dan disiplin kedokteran tersebut dalam suatu etik professional yang sepanjang masa mengutamakan penderita yang minta berobat serta keselamatan dan kepentingan penderita tersebut. Sejak permulaan sejarah kedokteran pula para dokter berkeyakinan bahwa suatu etik kedokteran sudah sewajarnya dilandaskan atas asas-asas etik yang mangatur hubungan  antar manusia dan umumnya. Disamping itu harus memiliki akar-akarnya dalam filsafat masyarakat yang diterima dan dikembangkan terus dalam masyarakat itu. (http://jelita249.blogspot.com/ 2009/euthanasia-dalam-praktek-kedokteran.)
Secara universal, kewajiban dokter tersebut telah tercantum dalam Declaration Of Genewa yang merupakan hasil musywarah Ikatan Dokter se-Dunia di Genewa pada bulan September 1948. Didalam Declarasi tersebut antara lain dinyatakan sebagai berikut :
“ I will maintain the atmost respect for human life from the time  of conception, even under threat, I will not use my medical knowledge contrary to the lows of humanity.”
Khusus untuk  di Indonesia, pernyataan semacam ini secara tegas telah dicantumkan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia,yang mulai berlaku sejak tanggal 29 Oktober 1969, berdasarkan surat keputusan Menteri Kesehatan RI tentang : Pernyataan berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia, tertanggal 23 Oktober 1969. Kode Etik kedokteran Indonesia ini dibuat berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI tanggal 30 Agustus 1969 No. 55/WSKN/1969.
Dengan demikian, berarti di Negara manapun di dunia ini seorang dokter mempunyai kewajiban untuk  “menghormati setiap hidup insan mulai saat terjadinya pembunuhan” dalam hal ini berarti pula bhwa bagaimana pun gawatnya sakit seorang pasien, setiap dokter tetap harus melindungi  dan mempertahankan hidup pasien tersebut. Dalam keadaan demikian mungkin pasien itu sebenarnya sudah tidak dapat disembuhkan lagi, atau sudah dalam keadaan sekarat berbulan-bulan lamanya. Akan tetapi dalam hubungan ini, dokter tidak boleh melepaskan diri  dari kewajiban untuk selalu melindungi hidup manusia, sebagaiman yang diucapkan dalam sumpahnya. Semua perbuatan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien dengan tujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaannya. Dengan sendirinya ia hrus member pertolongan guna mempertahankan dan memeliharan kehidupan manusia. Walaupun kadang-kadang ia terpaksa melakukan operasi yang sangat membahayakan, akan tetapi tindakan ini di ambil setelah di pertimbangkan secara mendalam bahwa tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan jiwa, supaya pasien dapat terhindar dari ancaman maut. Sekalipun dalam operasi tersebut mengandung banyak resiko. Oleh sebab itulah, sebelum operasi di mulai perlu adanya pernyataan persetujuan secara tertulis dari pasien dan keluarganya. (Djoko Prakoso, 1984 ; 81)
Karena naluri terkuat dari manusia adalah mempertahankan hidupnya, dan ini juga termasuk salah satu tugas seorang dokter, maka menurut etika kedokteran, dokter tidak diperbolehkan : (Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila Kedokteran Nasional, 1969 : 20)
1.     Menggugurkan kandungan  (abortus provocatus),
Tidak hanya dalam dunia kedokteran, ternyata masalah abortus provocatus  ini pun dalam hukum pidana kita juga dilarang. Sebagai contoh dapat kita lihat dalam pasal 346 KUHP, yang menyatakan  sebagai berikut :
“Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikankandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu,diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Walaupun abortus provocatus ini merupakan perbuatan yang terlarang, namun hal ini masih dapat diterobos oleh seorang dokter, dengan pertimbangan untuk pengobatan dan apabila perbuatan itu hanya merupakan satu-satunya jalan untuk menolong jiwa si ibu dari bahaya maut. Keputusan melakukan abortus provocatus ini harus diambil sekurang-kurangnya oleh dua dokter, dengan persetujuan tertulis daripada perempuan yang hamil dan suaminya, atau keluarganya yang terdekat. Abortus jenis ini disebut sebagai : abortus provocatus therapeuticus.

2.  Mengakhiri hidup seseorang pasien, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak mungkin akan sembuh lagi (Euthanasia).

Karena penderitaan yang tidak tertahankan lagi, bukan mustahil pasien yang penyakitnya sudah tidak mungkin disembuhkan itu, minta agar hidupnya diakhiri saja. Sampai sebegitu jauh, tidak semua orang setuju akan prinsip Euthanasia. Para dokter pun begitu halnya. Pada umumnya kelompok yang menentang, mengemukakan alasan yang bertitik tolak dari segi religious. Pada pokoknya kelompok ini menyatakan, segala sesuatu yang dialami oleh manusia memang dijadikan oleh Tuhan dan harus dipikul oleh manusia, karena hal itu mengandung makna dan tujuan tertentu. Dengan demikian  berarti penderitaan seseorang dalam sakit yang tengah dideritanya, walau bagaimanapn keadaannya memang sudah menjadi kehendak Tuhan. Oleh sebab itu mengakhisri hidup seseorang yang sedang menerima cobaan Tuhan tentunya tidak dibenarkn. Argumentasi yang demikian tadi rupa-rupanya juga dikemukakan dalam penjelasan Kode Etik Kedokteran Indonesia, BB II, Pasal 9 yang sekaligus juga mencerminkan sikap atau pandangan para dokter di Indonesia, tentang prinsip Euthanasia.

Sebaliknya bagi kelompok yang menyetujui adanya Euthanasia itu, disertai argumentasi bahwa perbuatan demikian, terpaksa dilakukan atas dasar perikemanusiaan. Mereka tidak tega melihat penderitaan yang dialami oleh pasiennya, dan telah berulang kali minta kepadanya agar penderitaannya itu diakhiri saja. Dalam hubungan ini dr. R. Soerarjo Darsono (1889 ; 34), memberikan contoh sebagai berikut :
·      Seseorang wanita yang telah hamil tua, kemudian mengalami suatu kecelakaan yang sangat parah, sehingga lehernya putus, dengan demikian wanita tersebut telah mati. Masalahnya sekarang bagaimana dengan bayi yang masih berada di dalam perut sang ibu itu, yang menurut pemeriksaan dokter diperkirakan masih hidup. Bagaimana sikap seorang dokter dalam mengahadapi keadaan demikian? Sedangka dokter dituntut untuk bertindak. Apakah harus membuka perut si wanita tadi dan mengambil bayinya, ataukah membeiarkan begitu saja? Jika dilakukan, apakah tidak mendahului kehendak Tuhan? Jadi merupakan hal yang sangat dilematis. Dalam hal ini ada dua pendpat diantara para dokter, yang mengatakan :

a.          Harus dibuka, demi keselamatan dan kelangsungan hidup si bayi itu.
b.          Biarkan saja, biar tuhan saja yang melahirkannya.

·        Seorang yang menderita penyakit kanker ganas, pada stadium permulaan memang tidak terasa sakit, namun pada stadium terakhir, maka sakitnya bukan main dan hampir mendekati dosis kematian. Dalam hal demikian, ada sebagian dokter yang beranggapan sebaiknya diberi obat penghilang kesadaran dosis yang tinggi, sehingga akhirnya orang ini mati, juga untuk menghindari supaya tidak terjadi penularan penyakit ini. Dipihak lain menghendaki agar jangan diberi obat itu, dan jika terpaksa diberinya, maka setidak-tidaknya hanya untuk mengurangi rasa sakit-sakitnya saja, dan dokter tetap melindungi kehidupan pasien ini.

Ketiga jenis euthanasia di atas, ternyata pada jenis yang ketiga inilah yang senada dengan euthanasia yang dilarang oleh hokum pidana kita, dan diatur dalam Pasal 344 KUHP.
Dibeberapa Negara maju seperti Eropa dan Amerika mulai banyak terdengar suara-suara yang pro terhadap prinsip adanya euthanasia ini. Mereka berusaha mengadakan suatu gerakan untuk menguatkan dalam Undang-Undang Negaranya. Bagi orang-orang yang kontra terhadap prinsip eutahanasia, berpendapat bahwa tindakan demikian itu sama saja dengan membunuh.Indonesia sebagai Negara yang beragama dan ber-Pancasila, percaya kepada kekuasaan mutlak daripada Tuhan Yang Maha Esa. Segala sesuatu diciptakan-Nya, dan penderitaan yang dibebankan kepada makhluk manusia, ada arti dan maksudnya. Oleh sebab itu, dokter harus mengerahkan segala kepandaian dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup, tidak untuk mengakhiri hidup daripada sesama manusia. (Djman Andhi Nirwanto, 1984 : 76)

D. Pidana Mati “Euthanasia” dan Hak-Hak Asasi Manusia
Sebagai titik tolak dalam pembahasan masalah Hak Asasi manusia di Indonesia ini, maka sorotan kita tidak terlepas daripada Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila, karena Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar dari segala peraturan Perundang-Undangan yang ada di Indonesia. Begitu pula pancasila adalah merupakan sumber dari segala sumber Tertib Hukum Indonesia.
Undang-Undang Dasar 1945 yang terdiri dari pembukaan yang memuat pancasila dan batang tubuh, lahir tiga setengah tahun sebelum lahirnya Universal Declaration Of Human Rights. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan pengendapan dari cita-cita dan pengalaman bangsa Indonesia untuk menghapuskan penjajahan. Oleh sebab itu pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dimulai dengan menonjolkan hak setiap bangsa untuk merdeka, sebagaimana dinyatakan pada alinea pertamanya sebagai berikut :
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. 

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea pertama, maka nyatalah dengan terang adanya hubungan pokok antara Pancasila dan hak-hak asasi manusia, khususnya hak asasi kemerdekaan segala bangsa. Seperti diketahui bahwa perikemanusiaan dan perikeadilan merupakan juga perumusan di dalam pancasila, yakni yang tercantum pada sila kedua dan sila ke empat. Perikemanusiaan meliputi segala pandangan  hidup yang tertujukan kepada manusia, baik dalam pergaulannya di dalam masyarakat, maupun dalam hubungannya dengan negara, dalam segala bentuk dan gerakannya. Maka dari sila kemanusiaan ini harus meliputi dan mengisi segala peraturan hukum, baik perdata maupun pidana dan harus menjadi sendi daripada seluruh kehidupan ekonomi dan sosial. Pokok-pokok dari peraturan kemanusiaan yang adil dan beradab itu adalah seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 ayat (1), yang menyatakan bahwa negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuallinya. (Tasrip. S, 1979 : 26)
Dengan pemasukkan beberapa pasal mengenai hak-hak asasi manusia ke dalam Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, sebenarnya apa yang disebut dalam The Four Freedom of F.D. Roosevelt, semua telah tercakup di dalamnya. Pasal-pasal tersebut adalah :
E.   Pasal 28 UUD 1945             : Kebebasan mengutarakn pendapat
F.   Pasal 29 (2) UUD 1945       : Kebebasan beragama
G.   Pasal 27 (1) UUD 1945       : Kebebasan dari ketakutan
H.   Pasal 33 UUD 1945             : Kebebasan dari kekurangan.
Adapun bunyi  dari pasal-pasal tersebut diatas dapat dikutip sebagai berikut :
Pasal 28 UUD 1945
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pendapat dengan lisan atau tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan Undang-Undang”

Pasal 29 (2) UUD 1945
“Negara mnjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”
Pasal 27 (1) UUD 1945
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”

Pasal 27 (2) UUD 1945
“Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”

Sudah sejak lama masalah pidana mati ini menjadi bahan perdebatan di kalangan ahli hukum pidana. Tetapi hingga sekarang belum ada kata sepakat tentang perlu atau tidaknya pidana mati itu untuk dipertahankan. Jadi masalahnya masih merupakan pro dan kontra, dan rasanya memang sampai kapanpun kiranya masalah ini akan terus begitu saja. Sebagian Negara di dunia ini masih akan terus mempertahankan adanya pidana mati, termasuk di dalamnya Indonesia. Sebagian pula ada yang telah mengahapuskannya dalam Undang-Undang negaranya, dengan disertai alasan-alasan tertentu. Para sarjana pun ada yang kontra dan ada pula yang pro terhadap pidana mati. Menurut Bichon Van Ysselmonde, Lambrosso, Garofalo merupakan para ahli yang pro akan pidana mati, pada umumnya mereka mendasarkan argumentasinya bahwa pidana mti itu dirasakan lebih praktis, biaya ringan,lebih pasti daripada pidana penjara, yang selama ini dijatuhkan  oleh pengadilan manapun. Disamping itu dikatakannya, bahwa pidana penjara sering diikuti kemungkinan melarikan diri bagi yang dikenal, sehingga bagi seorang yang dianggap terlalu jahat, kemudian dijatuhi pidana mati, maka hilanglah rasa ketakutan kita, kalau orang yang demikian itu melarikan diri dri penjara dan kemudian membikin kejahatan lagi dalam masyarakat. (Simorangkir, 1979 ; 22)
Terlepas dari cara yang dilakukan, secara alamiah maka pidana mati adalah bertentangan dengan kodrat alam. Naluri manusia selalu ingin mempertahankan hidupnya dari segala serangan yang menimpa atas dirinya. Dia pasti akan melakukan sesuatu dan mempertahankan diri, seandainya akan dibunuh oleh orang lain. Begitu pula  seseorang yang sedang sakit pasti akan berusaha pula untuk berobat, agar cepat sembuh, disamping dia selalu berdoa kepada Tuhan bagi yang mengakui adanya Tuhan. Dengan demikian hidup adalah merupakan kehendak  yang paling dasar dari bagi setiap manusia normal. Oleh sebab itu, pidana mati dipandang sebagai pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. (http://www.solusihukum.com/kasus2.php)
Sementara Muladi membagi teori-teori tentang tujuan pemidanaan menjadi 3 kelompok yakni :
1.             Teori absolut (retributif);
Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.

2.             Teori teleologis;
Teori teleologis (tujuan) memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan,22 maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan.

3. Teori retributifteleologis.
Teori retributif-teleologis memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip teleologis (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter teleologisnya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moraltersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari. Pandangan teori ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus retribution yang bersifat utilitarian dimana pencegahan dan sekaligus rehabilitasi yang kesemuanya dilihat sebagai sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Karena tujuannya bersifat integratif, maka perangkat tujuan pemidanaan adalah :
a)    Pencegahan umum dan khusus;
b)    Perlindungan masyarakat;
c)    Memelihara solidaritas masyarakat;
d)    Pengimbalan/pengimbangan. Mengenai tujuan, maka yang merupakan titik berat sifatnya kasusistis.

Seseorang pasti tidak akan luput dari kesalahan, demikian pula dengan seorang hakim, dalam memeriksa suatu perkara yang mungkin juga dapat  berbuat keliru. Sekarang yang menjadi masalah, bagaimana seseorang telah dipidana mati, dan telah dieksekusi, dan kemudian terjadi kekeliruan pengadilan (rechtelijke dwaling). Dalam hal ini terpidana sudah tidak dapat direhabilitir lagi nama baiknya, karena ia telah mati.
Pandangan yang menentangkan adanya Euthanasia yang mendasarkan dari segi religius, kiranya kurang seirama dengan pandangan dari segi-segi hak manusia. Kita tahu bahwa di dalam Universal Declaratuion Of Human Rights dari PBB  telah mencantumkan sejumlah hak asasi manusia. Begitu pula didalam Undang-Undang Dasar 1945, walaupun tidak secara terperinci seperti     yang terdapat dalam Deklarasi PBB itu. Diantara sekian banyak hak asasi manusia itu mungkin hanya hak untuk mati yang tidak ada. Walaupun kedengarannya sangat ganjil, tetapi hal ini cukup mengundang minat para ahli untuk memperbincangkannya, karena “hak untuk mati” ini dipandang sebagai  telah tercakup pengertiannya di dalam “hak untuk hidup” yang selama ini dicantumkan secara tegas.
Pandangan yang menentang prinsip Euthanasia diatas akan bebenturan argumentasinya, jika dihubungkan dengan pidana mati, yang dijatuhkan oleh hakim. Sesuai dengan kodrat alamnya, seseorang tertuduh yang divonis mati pada umumnya juga masih ingin mempertahankan hidupnya, atau dengan perkataan lain ingin menggunakan “hak untuk hidup”-nya. Disadari atau tidak, bahwa keritan hati kecilnya pasti  mengatakan keinginannya untuk tidak mati.(Djoko Prakoso, 1984 ;  85)
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa hakim telah memaksa kematian seseorang yang sebanarnya masih ingin hidup terus, sedangkan pidana mati bukanlah satu-satunya jalanyang dapat ditempuh untuk mencapai salah satu tujuan daripada diadakannya peradilan. Dalam euthanasia  seorang pasien yang menghendaki kematian atas dirinya sendiri, justru malah dilarang dan dihalang-halangi untuk mati. Pada hal kematian yang memang diinginkan oleh pasien itu adalah merupakan satu-satunya jalan untuk menghilangkan penderitaan yang tidak tertahankan lagi. Pendek kata, orang yang masih hidup ingin hidup dipaksa untuk mati oleh hakim, sedangkan orang yang  karena keadaan yang tidak dapat terelakkan lagi, ingin mati dipaksa untuk hidup terus, walaupun penderitaan yang tiada menentu.
Selanjutnya pandangan religius dari kelompok yang menentang prinsip euthanasia yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang dialami manusia itu, sudah menjadi kehendak Tuhan, sebab hal ini mengandung makna dan tujuan tertentu. Tetapi disamping itu, oleh Tuhan manusia juga diwajibkan  berusaha untuk menghilangkan penderitaannya. Dalam hal demikian ini, pengobatan untuk penyembuhan  dan menghilangkan penderitaan  sudah tidak mungkin lagi. Jalan satu-satunya masih mungkin ialah, mengakhiri hidup si pasien tersebut, agar penderitaannya itu dapat segera berakhir. Apabila kematian untuk menghilangkan penderitaan memang diminta oleh pasien pada hal jalan lain untuk menghilangkan penderitaan itu sudah tidak ada lagi. (Bachtiar Surin, 1978 : 19)
Hakim yang juga manusia biasa dapat menentukan kematian seseorang, lewat pidana matinya, dimana orang ini masih segar bugar yang sebenarnya orang tersebut masih menginginkan untuk hidup, mengapa pasien yang juga sebagai manusia biasa yang menderita sakit yang tak terhingga, tidak dapat menentukan kematian atas dirinya sendiri. Bukankah kematian yang memang diminta pasien itu merupakan satu-satunya jalan untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan dilain pihak, hakim sebenarnya masih dapat menempuh jalan lain, tidak harus menjatuhkan pidana mati.
Apabila jalan pikiran seperti tersebut diatas itu diterima untuk  menyetujui prinsip Euthansia, maka kehendak pasien untuk mati itu juga merupakan suatu asasi. Oleh karena itu, apabila seorang dokter menolak permintaan mati seseorang pasien yang sangat menderita, karena sakit yang tak dapat disembuhkan lagi itu, merupakan suatu pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Pelanggaran semacam ini tidak bedanya tertuduh di depan pengadilan. Hanya saja bedanya, bahwa dipengadilan seorang hakim telah merampas hak manusia untuk hidup, sedangkan dalam euthanasia, seorang manusia telah merampas hak manusia untuk mati.
Dasar pemikiran seorang hakim adalah menjatuhkan pidana mati, biasanya didasarkan demi kepentingan masyarakat, karena jika tertuduh dibiarkan begitu saja, akan dapat membahayakan masyarakat dan keamanan negara. Akan tetapi hendaknya jangan dilupakan, bahwa menyelamatkan kepentingan umum dan menyelamatkan keamanan negara, bukanlah satu-satunya jalan dengan menajtuhkan pidana mati. Dengan kata lain untuk menyelamatkan kepentingan masayarakat dan  negara tidak harus dilakukan dengan jalan menjatuhkan pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara selama waktu tertentu, dan lain-lain. (http://id.wikipedia.org/wiki/Etanasia)
E.   Euthanasia”, “Suicide” dan Ajaran Agama
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian”. Dalam bahasa Arab, Euthanasia dikenal dengan istilah qatl ar-rahma atau taysîr al-mawt. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan untuk meringankan kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal; juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya. (Hasan, 1995: 145).
Masalah Euthanasia biasanya dikaitkan dengan masalah suicide atau bunuh diri. Dalam hukum pidana, masalah suicide yang perlu dibahas adalah apakah seseorang yang mencoba bunuh diri atau membantu orang lain untuk melakukan bunuh diri itu dapat dipidana, karena dianggap telah melakukan suatu kejahatan.
Dilihat dari segi agama, baik itu agama islam , Kristen, Katolik dan sebgainya maka euthanasia dan Suicide merupakan perbuatan yang terlarang. Sebab masalah kehidupan  dan kematian seseorang itu adalah berasal dari pencipta-Nya, yaitu tuhan Yang Maha esa. Jadi perbuatan-perbuatan yang menjurus kepada tindakan penghentian hidup yang bersal dari Yang Maha Esa itu, merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, oleh karenanya tidak dibenarkan. (Sinar Harapan, 1977 : 8)
Dalam Hal ini agama Islam, yang secara mayoritas di anut oleh penduduk Indonesia, jelas melararang adanya euthanasia dan suicide. Sehubungan dengan hal ini, hadist Nabi Muhammad S.A.W yang diriwayatkan oleh Annas r.a sebagai berikut : (Buletin Dawah No.38, 1979: 1)
“Bahwa rasullullah pernah bersabda : janganlah tiap-tiap orang  dari kamu meminta-minta mati, karena kesuikaran yang menimpa. Jika memamng sangat perlu ia berbuat demikian, maka ucapkanlah doa sebagai berikut : Ya Allah! Panjangkanlah umurku, kalau memang hidup adalah lebih baik bagiku, dan matikanlah aku manakala memang mati lebih baik bariku.”

Hadist tersebut di atas, dinyatakan secara jelas bahwa Euthanasia” itu dilarang dalam ajaran Islam. Disamping itu banyak sekali ayat-ayat suci  Alquran dan hadist-hadist Nabi yang yang melarang adanya suicide, karena kebosanan akan hidup, dan umumnya karena takut akan tanggung jawab hidup.
Tindakan-tindakan ini sangat diharamkan oleh ajaran agama Islam. Hal ini dapat dilihat dari ayat Alquran, antara lain : (Al-Maliki, 1990: 113).
-       Surat An Nisa’ ayat 29 :
“Hai orang-orang yang beriman. Janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan curang. Kecuali dengan cara perdagangan yang berlaku dengan suka rela di antaramu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang Kepadamu”

-       Surat Al an’aam ayat 151 :
 






                ! Marilah kubacakan apa-apa yang telah diharamkan
“Katakanlah! Marilah kubacakan apa-apa yang telah diharamkan Tuhan kepadamu, yakni : janganlah kamu mempersekutukan  Dia dengan sesuatu pun, berbaktilah kepada kedua orang tuamu. Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka juga. Janganlah kamu mendekati perbuatan keji yang terang maupun yang tersembunyi. Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya, kecuali karena sebab-sebab yang dibenarkan oleh syarat. Begitulah yang diperintahkan Tuhan kepadamu supaya kamu memikirkannya.
-       Surat Al A’raf ayat34 :
‘bagi tiap-tiap umat itu ada batas waktu tertentu (ajal/mati), sebab itu bila datang waktunya itu, mereka tidak dapat mengulurkan barang seketika dan tidak pula dapat mempercepatnya”.

Dari ayat-ayat Alquran diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa agama islam melarang orang untuk melakukan  bunuh diri (Surat An Nisa ayat (29) karena Tuhan adalah kasih dan sayang kepadanya. Larangan keras seseorang membunuh  orang lain, karena takut akan kemiskinan dan kemelaratan (surat Al An’aam ayat (151)), Sedangkan surat Al A’raf Ayat (34) mengajarkan bahwa masalah mati dan hidup manusia itu ada di tangan Tuhan, sehingga manusia tidak dapat menentukannya.
Motif pembunuhan pada umumnya karena katakutan akan penderitaan hidup atau kemiskinan, dan selanjutnya karena bosan akan hidup. Semua tindakan kriminil yang berpangkal pada ketakutan hidup, dicegah oleh Tuhan. Sangat terlarang dalam islam melakukan “pembunuhan massal”, seperti yang terjadi di Amerika di kalangan pengikut aliran sekte. Larangan bukan saja terhadap tindakan pembunuhan, bahkan juga meminta mati saja dilarang keras oleh Islam. Seperti bunyi Hadist Nabi diatas, karena adanya kesukaran hidup atau penderitaan hidup, lalu meminta-minta atau mencita-citakan untuk mati, juga dilarang. Berputus asa terhadap rahmat Tuhan, baik karena hebatnya penderitaan yang dialami, atau kemiskinannya yang menimpa diri, atau karena penyakit yang bertahun-tahun tidak sembuh-sembuh, atau dirundung malang oleh berbagai persoalan yang tiada habisnya, lalu meminta amati atau m,encari jalan kematian, semuanya itu diharamkan oleh ajaran agama Islam. Selanjutnya apabila kita membaca surat lain, yaitu surat Al Maidah ayat (3), ditegaskan bahwa putus asa adalah sifat orang kafir, tidak percaya pada Tuhan, surat Yusuf ayat (87), juga melarang keras putus asa dari rahmat bantuan Tuhan dan mengatakan sekali lagi bahwa sifat putus asa itu adalah tingkah laku orang-orang kafir. (Bachtiar Surin, 1978 : 118).
Etanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (etanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya etanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga.

Euthanasia positif

Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (etanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian si sakitkarena kasih saying yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat).
Memudahkan proses kematian secara aktif (etanasia positif) adalah tidak diperkenankan oleh syara'. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter melakukan suatu tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis dan ini termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan.
Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya. (Bachtiar Surin, 1998 : 21)

Etanasia negatif

Etanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada etanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.
Diantara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi (Bachtiar Surin, 1998 : 24)
F.    Euthanasia Menurut Hukum Diberbagai Negara
Sejauh ini etanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta ditoleransi di negara bagian Oregon di Amerika, Kolombia dan Swiss dan dibeberapa negara dinyatakan sebagai kejahatan seperti di Spanyol, Jerman dan Denmark.

1.      Belanda

Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan euthanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik etanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.
Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan etanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang melakukan etanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum. (http://www.solusihukum.com/kasus2.php)

2.        Amerika

Euthanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya etanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.
Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya etanasia. (http://www.solusihukum.com/kasus2.php)

3.        Korea

Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang etanasia di Korea, namun telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi)yang di Korea dikenal dengan "Kasus rumah sakit Boramae" dimana dua orang dokter yang didakwa mengizinkan dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang menderita sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan keluarganya. Polisi kemudian menyerahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi catatan bahwa dokter tersebut seharusnya dinayatakan tidak bersalah. Namun kasus ini tidak menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy killing dalam arti kata etanasia aktif.
Pada akhirnya pengadilan memutuskan bahwa " pada kasus tertentu dari penghentian penanganan medis (hospital treatment) termasuk tindakan etanasia pasif, dapat diperkenankan apabila pasien terminal meminta penghentian dari perawatan medis terhadap dirinya. (http://www.solusihukum.com/kasus2.php)
4.          Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka etanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa ”Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”. Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan etanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan etanasia oleh siapa pun.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004  menyatakan bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP. (Simorangkir, 1979 : 29)

BAB III
METODE PENELITIAN
A.        Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif yaitu dengan menganlisis data yang mengacu pada norma-norma hukum yang dituangkan dalam Peraturan Perundang-Undangan khususnya yang berkaitan dengan judul yang penulis angkat.
B.        Metodologi Pendekatan
Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum normatif adalah :
1.    Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach)
Pendekatan Undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang berhubungan dengan judul yang diteliti.
2.    Pendekatan Kasus (Case Approach)
Pendekatan kasus dilakukan terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in craht).
3.    Pendekatan Historis(Historical Approach)
Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu hokum yang dihadapi.Telaah demikian diperlukan oleh peneliti manakala peneliti ingin mengungkap filosofis dan pola pikir yang melahirkan sesuatu yang sedang dipelajari.
4.    Pendekatan Komparatif(Comparative Approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan membandingkan undang-undang suatu Negara dengan undang-undang dari satu atau lebih Negara lain mengenai hal yang sama.Dapat juga yang diperbandingkan disamping undang-undang juga putusan pengadilan di beberapa Negara untuk kasus yang sama.
5.    Pendekatan Konseptual(Conceptual Approach)
Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum

C.   Jenis dan Sumber Bahan-Bahan Hukum
a.     Bahan-bahan primer, adalah bahan hukum yang terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan undang-undang dan putusan-putusan hakim.
b.     Bahan-bahan sekunder, adalah bahan hukum berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.

D.   Teknik Pengumpulan Bahan-Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan :
·      Penelitian Kepustakaan (Library Research)
Teknik ini bertujuan untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori ataupun penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan rumusan masalah.
E.   Teknik Analisis Bahan-Bahan Hukum
Tekhnik analisis bahan hukum yang dipergunakan adalah preskriptif, dimana penulis memberikan suatu rumusan konsep yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

BAB IV
PEMBAHASAN

A.   “Euthanasia”, Kematian dan Hak untuk Mati
Lain di Pengadilan, lain pula dengan di dunia medis. Apabila di Pengadilan seorang hakim dapat menentukan kematian seseorang dengan melalui pidana mati yang dijatuhkannya, dalam dunia medis, seorang dokter bahkan diwajibkan senantiasa melindungi makhluk hidup indani, sebagaimana ditetapkan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia. Masalah “hak untuk mati” di dunia, terutama di Negara-negara maju, masa kini sangat intensif dipermasalahkan. Seorang pasien yang sudah tidak ada harapan untuk hidup lagi dari segi medis, kemudian diminta oleh keluarganya supaya penderitaannya dihentikan saja oleh dokter, sering terjadi di Negara-negara maju dewasa ini. Bahkan keluarga pasien yang sudah tidak ada harapan lagi itu, mengajukan permintaan kepada Pengadilan atau pejabat yang berwenang supaya memberikan legalisasi untuk mati.
Masalah “hak untuk mati” atau the right to die ini berhubungan erat dengan definisi daripada kematian. Hal ini timbul sehubungan dengan adanya kenyataan bahwa profesi medis dewasa ini, sudah mampu untuk menciptakan alat-alat ataupun mengambil tindakan-tindakan  yang dapat memungkinkan seseorang yang mengalami kerusakan otak (brain death), tetapi jantungnya tetap hidup dan berdetak dengan bantuan sebuah “respirator”. Di Negara-negara maju sudah banyak yang memberikan definisi tentang kematian, tetapi definisi yang diajukan itu hanya bersifat khusus. Jadi sampai sekarang belum ada yang memberikan definisi kematian secara umum, dan untuk segala tujuan yang bersifat umum. Definisi khusus itu biasanya akibat kemajuan yang telah dicapai dalam bidang medis, sehingga hanya merupakan salah satu kriteria saja, dan terbatas untuk tujuan-tujuan operasi transplantasi organ tubuh (Anatomical Gifts).
Sebagai suatu contoh dapat disebutkan definisi kematian yang telah diterima oleh The American Association tahun 1975, yang menyatakan kematian adalah :
“for all legal purpose, a human body with irreversible cassation of total brain function, accrding to medical practice, shall be considered dead”.
Definisi kematian ini diterima sebagai akibat dripada perkembangan ilmu kedokteran, sehubungan dengan “organtransplants”, mencabut alat-alat untuk menopang kehidupan seseorang dan menghentikan segala tindakan untuk menghidupkan kembali.
Kebutuhan kan definisi baru tentang kematian berkembang sebagai akibat  langsung daripada meningkatnya kemampuan profesi medis untuk mempertahankan kehidupan seseorang yang jantungnya terus berdetak, tetapi otaknya tetap tidak berfungsi secara permanen, berhubung adanya kerusakan yang parah. Sehubungan dengan persoalan ini, timbul bermacam-macam pendapat, baik yang bersifat juridis moral maupun medis.
Sekarang masalahnya, bagaiman dengan istilah kematian dalam ilmu hukum? Biasanya definisi kematian yang dipakai di Pengadilan-pengadilan terhadap kasus-kasus yang terjadi, baik di dalam maupun di luar negeri, menganggap bahwa apabila masih bernapas, berarti belum dikatakan mati, apabila orang tersebut sudah tidak bernapas lagi berarti orang tersebut telah mati. Memang banyak kasus yang terjadi, misalnya pembunuhan, yang menyebabkan kematian, pada umumnya orang yang dibunuh tersebut setelah tidak bernapas lagi, kemudian langsung dikubur begitu saja. Dengan demikian proses selanjutnya di Pengadilan, hakim mendefinisikan bahwa orang tersebut mati karena terbunuh, yang akhirnya terdakwanya dikenakan sanksi sesuai dengan pasal yang mengatur tentang pembunuhan itu. Kalau dipakai definisi demikian, dan dihubungkan dengan masalah euthanasia, seseorang yang sudah tidak bernapas, sedang otaknya masih merangsang, jadi belum dikatakan sebagai brain death. Apakah hal ini juga disebut sebagai mati oleh pengadilan? Oleh karena itulah, perlu dirumuskan suatu definisi tentang kematian yang bersifat umum, yang dapat menjangkau masalah medis dan juga dalam berbagai kasus yang berhubungan dengan hukum, terutama hukum pidana. Hal ini sangat penting artinya didalam menangani berbagai kasus yang berhubungan dengan euthanasia, yang selama ini belum juga dapat ditolerir di Negara-negara yang berkembang terutama di Indonesia.
Walaupun euthanasia ini merupakan perbuatan yang terlarang dan diancam pidana seperti diatur Pasal 344 KUHP, namun pencantuman larangan ini dirasakan kurang efisien, karena sampai sejauh ini belum ada kasus yang sampai ke Pengadilan. Oleh sebab itu, untuk perkembangan selanjutnya penulis ingin mengetengahkan  dua kemungkinan terhadap masalah euthanasia dengan mengadakan peninjauan  kembali terhadap perumusan Pasal 344 KUHP, ataukah menyatakan bahwa perbuatan euthanasia itu sebagai perbuatan yang tidak dilarang dengan mencantumkan syarat-syarat tertentu sehingga terjadilah apa yang disebut sebagai “dekriminalisasi”. Apabila yang ditempuh adalah tetap mempertahankan euthanasia dalam segala bentuknya sebagai perbuatan yang terlarang, maka perumusan Pasal 344 KUHP perlu ditinjau kembali. Hal ini dimaksudkan agar memberikan kelonggaran kepada penunutut umum agar lebih memudahkan di dalam mengadakan pembuktian terhadap kasus yang terjadi.
Selama ini mungkin saja euthanasia ini, terjadi di Indonesia. Apakah dengan terjadinya euthnasia itu kemudian penuntut umum dapat membuktikannya? Sulit rasanya hal ini dapat dipecahkan. Menurut pendapat dokter, memang Euthanasia di Indonesia ini belum pernah terjadi. Tetapi dengan kemajuan dan perkembangan keadaan yang selalu meningkat ini, tidak mustahil euthanasia ini dilakukan secara diam-diam. Karena jelas para dokter di Indoneisa yang terhimpun dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sesuai dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia, menganut bahwa paham hidup dan mati, tidak merupakan hak daripada manusia, melainkan hak dari Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu, para dokter di Indonesia, tidak menganut prinsip euthanasia, sebab disamping masalah mati itu merupakan hak daripada Tuhan Yang Maha Esa, juga melanggar sumpah Hipocrates yang pernah diucapkan para dokter.
Kemungkinan kedua adalah menyatakan bahwa euthanasia merupakan perbuatan yang tidak terlarang, dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat ini misalnya :
-     Bagi pasien yang sudah tidak dapat diharapkan lagi akan kehidupannya menurut ukuran medis, yang dinyatakan oleh dokter yang merawatnya,
-     Usaha penyembuhan yang dilakukan selama ini sudah tidak berpotensi lagi,
-     Pasien dalam keadaan in a persistent vegetative state.
Bagi pasien yang dalam keadaan seperti ini, sebaliknya euthanasia dapat dilakukan. Disamping syarat-syarat yang limitatif tersebut, dapat ditambah lagi, misalnya dengan disertai permohonan tertulis dari pasien dan keluarganya, dengan membubuhkan tandatangannya, dan pada surat tersebut dibubuhi pula tandatangan dari para saksi-saksi. Dalam hal ini, euthanasia dapat dijalankan, dengan menyatakan pelakunya mempunyai kekebalan terhadap pasien yang memenuhi syarat-syarat tertentu tadi, dan tetap dilarang bila dilakukan terhadap orang-orang yang masih sehat, dan memenuhi syarat-syaratnya. Ini dimaksudkan dengan diperbolehkannya euthanasia, agar tidak disalahkan penggunaannya. Apabila dokter merasa takut akan melanggar sumpah Hipocrates yang pernah diucapkannya, maka masih ada jalan yang masih dapat ditempuh yaitu dengan memberikan tugas kepada mantri atau perawat yang lain, yang tidak pernah mengucapkan sumpah dokter. Kiranya hal ini dapat dilakukannya, mengingat hanya sekedar mencabut “respirator” atau alat-alat yang lain, yang digunakan untuk memperpanjang hidup pasien yang tengah menderita dengan tiada akhir tersebut. Dengan demikian “hak untuk mati” juga dihormati adanya, walaupun hak ini tidak secara tegas dicantumkan sebagaimana “hak untuk hidup”. Dalam kondisi yang demikian  itu pula, seseorang yang mempergunakan “hak untuk mati”nya. Jadi pengakuan terhadap “hak untuk mati” ini tidak bersifat mutlak, tetapi dalam keadaan yang memaksakan untuk mengakuinya.

B.   Euthanasia menurut Persepektif Hukum Pidana Indonesia
Tugas seorang dokter adalah untuk menolong jiwa seorang pasien, padahal jika dilihat lagi hal itu sudah tidak bisa dilanjutkan lagi dan jika hal itu diteruskan maka kadang akan menambah penderitaan seorang pasien, penghentian pertolongan tersebut merupakan salah satu bentuk euthanasia.
Bardasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian kedalam tiga jenis:
1.    Orthothansia, merupakan kematian yang terjadi karena proses alamiah,
2.    Dysthanasia, adalah kematian yang terjadi secara tidak wajar,
3.    Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter.
Pengertian euthanasia ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif, dan biasanya tindakan ini dilakukan oleh kalangan medis. Sehingga dengan hal demikian akan muncul yang namanya euthanasia positif dan euthanasia negatif dan berikut adalah contoh-contoh tersebut;
a).   Seseorang yang sedang menderita kangker ganas atau sakit yang mematikan, yang sebenarnya dokter sudah tahu bahwa seseorang tersebut tidak akan hidup lama lagi. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi justru menghentikan pernapasannya sekaligus.
b).   Seperti yang dialami oleh Nyonya Again (istri hasan) yang mengalami koma selama tiga bulan dan dalam hidupnya membutuhkan alat bantu pernafasan. Sehingga dia akan bisa melakukan pernafasan dengan otomatis dengan bantuan alat pernafasan. Dan jika alat pernafasan tersebut di cabut otomatis jantungnya akan behenti memompakan darahnya keseluruh tubuh, maka tanpa alat tersebut pasien tidak akan bisa hidup. Namun, ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai "orang mati" yang tidak mampu melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya.
Hal tersebut adalah contoh dari yang namanya euthanasia positif yang dilakukan secara aktif oleh medis.
Berbeda dengan euthanasia negatif yang dalam proses tersebut tidak dilakukan tindakan secara aktif (medis bersikap pasif) oleh seorang medis dan contohnya sebagai berikut;
a).   Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam penyakit pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati (padahal masih ada kemungkinan untuk diobati) akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat kematiannya.
b). Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita kelumpuhan tulang belakang atau kelumpuhan otak. Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan (tanpa diberi pengobatan) apabila terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit otak, yang mungkin akan dapat membawa kematian anak tersebut.
Dari contoh tersebut, "penghentian pengobatan" merupakan salah satu bentuk eutanasia negatif. Menurut gambaran umum, anak-anak yang menderita penyakit seperti itu tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan mempermudah kematian secara pasif (eutanasia negatif) itu mencegah perpanjangan penderitaan si anak yang sakit atau kedua orang tuanya.
Dalam KODEKI Pasal 2 dijelaskan bahwa; “seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya sebagai seorang profesi dokter harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum dan agama.
KODEKI Pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam menjalankan prifesinya seorang dokter tidak boleh melakukan; Menggugurkan kandungan (Abortus Provocatus), mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).
Mengenai euthanasia, dapat digunakan dalam tiga arti ;
a).   Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir.
b).   Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut) penderitaan pasien diperingan dengan memberikan obat penenang
c). Mengakhiri penderitaan dari seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Adapun unsur-unsur dalam pengertian euthanasia dalam pengertian diatas adalah:
a).  Berbuat sesauatu atau tidak berbuat sesuatu,
b).   Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien,
c).   Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan,
d).   Atas permintaan pasien dan keluarganya,
e).   Demi kepentingan pasien dan keluarganya.

1.  Euthanasia dalam perspektif Hukum Pidana
Melihat penderitaan istrinya yang tidak kunjung berakhir, Panca Satrya Hasan Kusuma memohon agar istrinya (Agian Isna Nauli) yang sudah koma sekitar tiga bulan setelah melahirkan putra keduanya, disuntik mati saja. Ini merupakan perubahan dalam dinamika masyarakat yang kian mengglobal yang ditandai semakin mudahnya masyarakat mengakses informasi dari berbagai belahan dunia maka semakin sering masyarakat bersentuhan dengan nilai-nilai asing (di luar kebiasaan/norma-norma komunitasnya).
Namun perubahan paradigma berfikir masyarakat bukanlah sebagai arah sebuah kemajuan berfikir, naamun cuma kebingungan dalam berfikir. Hal ini dialami oleh Hasan yang mengajukan euthanasia terhadap istrinya dan hal yang sama juga terjadi pada Siti Zulaekha yang akan diajukan euthanasia oleh keluarganya.

2.      Konsepsi Euthanasia
Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai “kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan”. Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini adalah mercy killing (Tongat, 2003 :44). Sementara itu menurut Kamus Kedokteran Dorland euthanasia mengandung dua pengertian. Pertama, suatu kematian yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan dengan kemurahan hati, pengakhiran kehidupan seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hati-hati dan disengaja.
Secara konseptual dikenal tiga bentuk euthanasia, yaitu voluntary euthanasia (euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri karena penyakitnya tidak dapat disembuhkan dan dia tidak sanggup menahan rasa sakit yang diakibatkannya); non voluntary euthanasia (di sini orang lain, bukan pasien, mengandaikan, bahwa euthanasia adalah pilihan yang akan diambil oleh pasien yang berada dalam keadaan tidak sadar tersebut jika si pasien dapat menyatakan permintaannya); involuntary euthanasia (merupakan pengakhiran kehidupan pada pasien tanpa persetujuannya).
3.           Konstruksi Yuridis Euthanasia
Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban tersendiri bagi komunitas hukum. Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah persoalan euthanasia akan bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif memberikan regulasi/pengaturan terhadap persoalan euthanasia akan sangat membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-lebih di tengah kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra tentang legalitasnya.Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan :
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
Mengacu pada ketentuan tersebut di atas, maka munculnya kasus permintaan tindakan medis untuk mengakhiri kehidupan yang muncul akhir-akhir ini (kasus Hasan Kesuma yang mengajukan suntik mati untuk istrinya, Ny. Agian dan terakhir kasus Rudi Hartono yang mengajukan hal yang sama untuk istrinya, Siti Zuleha) perlu dicermati secara hukum. Kedua kasus ini secara konseptual dikualifikasi sebagai non voluntary euthanasia, tetapi secara yuridis formal (dalam KUHP) dua kasus ini tidak bisa dikualifikasi sebagai euthanasia sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP. Secara yuridis formal kualifikasi (yang paling mungkin) untuk kedua kasus ini adalah pembunuhan biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP, atau pembunuhan berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan, “ Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dinyatakan :
“ Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.
Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam terhadap “Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”.
Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan :
“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”.
Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan :
“Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”.
Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia.
Euthanasia di Negara lain Fenomena euthanasia ini berkembang lagi ketika kasus Nyonya Agian mencuat di permukaan ketika suaminya (Hasan) meminta DPRD Bogor untuk mengagalkan keinginannya untuk meng-euthanasia istrinya tersebut. Banyak orang yang menentang apa yang dilakukan Hasan pada istrinya tersebut, dengan alasan bahwa euthanasia itu bertentangan dengan nilai-nilai etika, moral karena termasuk perbuatan yang merendahkan martabat manusia dan perbuatannya tergolong pembunuhan, mengingat kematian menjadi tujuan.
Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan euthanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.
Kiranya persoalan euthanasia, meskipun pelaksanaannya tidak harus dan tidak selalu dengan suntikan, merupakan sebuah persoalan dilematis. Selain hukum, praktik euthanasia tentu saja berbenturan dengan nilai-nilai etika dan moral yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kehidupan manusia. Adanya indikasi-indikasi baik medis maupun ekonomis tidak secara otomatis melegitimasi praktik eutanasia mengingat eutanasia berhadapan dengan faham nilai menyangkut hak dan kewajiban menghormati dan membela kehidupan.
Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia mendapatkan tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara Jepang. Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan.
Didalam KUHP Austria Pasal 139 a berbunyi ;
“Seseorang yang membunuh orang lain atas permintaan yang jelas dan sungguh- sungguh terhadap korban dianggap bersalah melakukan delik berat pembunuhan manusia atas permintaan akan dipidana dengan pidana penjara berat dari lima sampai sepuluh tahun”.
Sebagai bahan perbandingan. Ternyata di negara inipun melarang adanya euthanasia Prosedur pengajuan Euthanasia di Indonesia Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus yang terakhir yang pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Again ke Pengadilan Negeri Jakarta, belum dikabulkan. Dan akhirnya korban yang mengalami koma dan ganguan permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk dilakukan euthanasia, dan sebelum permohonan dikabulkan korban sembuh dari komanya dan dinyatakan sehat oleh dokter.
Kasus di atas kita bisa menangkap prosedur yang harus dilakukan oleh pemohon euthanasia, bahkan hal ini sangat berbeda dengan yang dilakukan di Negara lain yang prosedurnya sangat ketat dan rapi. Sehingga orang akan berfikir untuk melakukan euthanasia.


BAB V
PENUTUP
A.   KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Prinsip-prinsip euthanasia  dalam segala perspektif hukum di Indonesia adalah perbuatan yang dilarang, dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia pengaturan masalah euthanasia terdapat di dalam Pasal 304 KUHP yang melarang adanya euthanasia pasif,dan di dalam Pasal 344 KUHP yang melarang adanya euthanasia aktif. Sehingga euthanasia adalah perbuatan yang belum bisa diterapkan atau belum dilegalkan karena bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), meskipun penerapan pasal ini dirasakan sangat sulit dalam hal pembuktiannya. 
B.   SARAN
·         Secara garis besar, hak-hak asasi manusia, sebagaimana tercantum dalam Universal Declaration of human Rights telah tercakup prinsip-prinsip pokoknya di dalam Undang-Undang  Dasar 1945 dan berbagai Perundang-undangan Republik Indonesia lainnya yang merupakan hukum positif. Namun hak-hak asasi manusia tersebut saat ini baru merupakan moral rights dan belum merupakan positive rights, yang dapat dituntut ketaatannya baik di dalam maupun di luar Pengadilan. Hal ini disebabkan karena kebanyakan belum terdapat undang-undang pelaksanaannya. Oleh karena itu, kami menghimbau kepada wakil-wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat, agar segera membikin undang-undang yang dimaksudkan itu. Dengan demikian baik dalam undang-undang maupun dalam praktek hukum sehari-hari Indonesia benar-benar adalah Negara Hukum yang menghormati hak-hak asasi manusia.
·       Indonesia tidak menganut prinsip euthanasia, yang berarti pula tidak mengakuinya the right to die dari seseorang pasien. Hal ini didasarkan atas alasan religious, bahwa masalah mati ini adalah kekuasaan mutlak dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Jadi Indonesia hanya mengakui adanya the right to life saja, yang sesuai pula dengan prinsip etik kedokteran Indonesia, yang selalu menghormati setiap hidup insane mulai dari saat terjadinya pembuahan. Dalam hal ini berarti bahwa bagaimanapun gawatnya sakit seseorang pasien, dan walaupun dengan menanggung penderitaan yang tiada akhir, dokter harus melindungi dan mempertahankan hidup pasien tersebut. Hal ini menunjukkan betapa besar penghormatan dari Negara terhadap nyawa seseorang warga negaranya. Sehubungan dengan hal ini, sebaiknya pidana mati yang masih ada di Indonesia di hapuskan saja, sebab  jika Pengadilan atau negaranya, berarti pula bahwa Negara telah mencabut nyawa seseorang, yang tidak ditentukan oleh Tuhan. Di samping itu bahwa pidana mati dirasakan telah melanggar the right to life dari warga Negara, yang selama ini sangat dihormati oleh Negara, baik nasional maupun internasional.
·       Seandainya pidana mati tetap untuk dipertahankan di Indonesia, sebaiknya antara Pengadilan dan dunia kedokteran supaya agak disejajarkan, walaupun tidak secara mutlak. Selama ini boleh dibilang sangat bertolak belakang, sebab Pengadilan dapat menentukan  matinya seseorang lewat pidana matinya, sebaliknya dokter yang  melihat pasiennya yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya lagi, dlam keadaan menderita yang tiada  menentu, walaupun telah diminta olehnya sendiri ataupun keluarga pasien agar supaya hidupnya diakhiri saja, tetapi oleh Negara dilarang. Oleh sebab itu, sebaiknya dalam keadaan yang demikian itu hendaknya dapat diakuinya the right to die dari seseorang pasien, walaupun pengakuan ini tidak secara mutlak, hanya dalam keadaan tertentu saja. Dengan demikian, maka dalam keadaan yang dimaksudkan tadi, prinsip euthanasia juga diperbolehkan untuk dilaksanakan. Oleh karenanya, dokter yang melakukan euthanasia tersebut mempunyai kekebalan terhadap civil liability maupun criminal liability.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar