BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dengan pesatnya
penemuan-penemuan teknologi modern, mengakibatkan terjadinya
perubahan-perubahan yang sangat cepat di dalam kehidupan sosial budaya manusia.
Hampir semua problema, ruang gerak dan waktu telah dapat terpecahkan oleh
tekhnologi dan modernitas. Disamping manusia menjadi semakin cakap
menyelenggarakan hidupnya, meningkat pula kemakmuran hidup materilnya, berkat
makin cepatnya penerapan-penerapan tekhnologi modern itu.
Diantara sekian
banyak penemuan-penemuan teknologi tersebut, tidak kalah pesatnya perkembangan
teknologi dibidang medis. Dengan perkembangan teknologi dibidang kedokteran
ini, bukan tidak mustahil akan mengundang masalah pelik dan rumit. Melalui
pengetahuan dan teknologi kedokteran yang sangat maju tersebut, diagnosa
mengenai suatu penyakit dapat lebih sempurna untuk dilakukan. Pengobatan
penyakitpun dapat berlangsung secara efektif. Dengan peralatan kedokteran yang
modern itu, rasa sakit seorang penderita dapat di peringan. Hidup seseorangpun
dapat di perpanjang untuk suatu beberapa jangka waktu tertentu, dengan memasang
sebuah respirator. Bahkan perhitungan
saat kematian seorang penderita penyakit tertentu, dapat dilakukan secara lebih
tepat, di samping itu di beberapa Negara maju bahkan sudah dapat melakukan apa
yang disebut dengan istilah birth technology
dan biological engineering.
Dengan demikian masalah cepat atau lambatnya proses kematian seseorang
penderita suatu penyakit, seolah-olah dapat diatur oleh teknologi yang modern
tersebut.
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia,
akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran,
kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, serta diakhiri dengan
kematian. Dari proses siklus kehidupan tersebut, kematian merupakan salah satu
yang masih mengandung misteri besar, & ilmu pengetahuan belum berhasil
menguaknya. Untuk dapat menentukan kematian seseorang sebagai individu
diperlukan kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kematian sebagai akhir dari
rangkaian kehidupan adalah merupakan hak dari Tuhan. Tak seorangpun yang berhak
menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat waktu kematian. Tapi, bagaimana
dengan hak pasien untuk mati guna menghentikan penderitaannya?
Hak pasien untuk mati, yang seringkali
dikenal dengan istilah euthanasia, sudah kerap dibicarakan oleh para ahli.
Namun masalah ini akan terus menjadi bahan perdebatan, terutama jika terjadi
kasus-kasus menarik. Adakah sesuatu yang istimewa yang membuat euthanasia selalu menarik untuk
dibicarakan? Para ahli agama, moral, medis, & hukum belum menemukan kata
sepakat dalam menghadapi keinginan pasien untuk mati guna menghentikan
penderitaannya. Situasi ini menimbulkan dilema bagi para dokter, apakah ia mempunyai
hak hukum untuk mengakhiri hidup seorang pasien atas permintaan pasien itu
sendiri atau keluarganya, dengan dalih mengakhiri penderitaan yang
berkepanjangan, tanpa dokter itu sendiri menghadapi konsekuensi hukum. Sudah
barang tentu dalam hal ini dokter tersebut menghadapi konflik dalam batinnya.
Sejauh ini Indonesia
memang belum mengatur secara spesifik mengenai euthanasia (Mercy Killing).
Euthanasia atau menghilangkan nyawa
orang atas permintaan sendiri sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa
seseorang. Konsep Euthanasia sekarang
ini masih menjadi perdebatan para pakar hukum, ada yang setuju tentang euthanasia dan ada pula pihak yang tidak
setuju tentang euthanasia. Pihak yang
menyetujui euthanasia mengemukakan
pendapat berdasarkan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup dan hak
untuk mengakhiri hidupnya dengan segera dengan alasan kemanusiaan. Dengan
keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup,
maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Sementara
sebagian pihak yang tidak membolehkan euthanasia
beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri
hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang
tidak bisa diganggu gugat oleh manusia.
Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang dipakai sangatlah bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut adalah masalah legalitas dari perbuatan euthanasia. Walaupun pada dasarnya tindakan euthanasia termasuk dalam perbuatan tindak pidana yang diatur dalam pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang dipakai sangatlah bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut adalah masalah legalitas dari perbuatan euthanasia. Walaupun pada dasarnya tindakan euthanasia termasuk dalam perbuatan tindak pidana yang diatur dalam pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Di Negara-negara
Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia
mendapatkan tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan
oleh Negara Jepang. Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang
harus dipenuhi agar euthanasia bisa
dilakukan.
Ada tiga petunjuk yang dapat digunakan untuk menentukan syarat prasarana luar biasa. Pertama, dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah tidak dapat disembuhkan lagi. Kedua, harga obat dan biaya tindakan medis sudah terlalu mahal. Ketiga, dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau tindakan medis tersebut. Dalam kasus-kasus seperti inilah orang sudah tidak diwajibkan lagi untuk mengusahakan obat atau tindakan medis. Bahkan, euthanasia dengan menyuntik mati disamakan dengan tindakan pidana pembunuhan. Alternatif terakhir yang mungkin bisa diambil adalah penggunaan sarana via extraordinaria. Jika memang dokter sudah angkat tangan dan memastikan secara medis penyakit tidak dapat disembuhkan serta masih butuh biaya yang sangat besar jika masih harus dirawat, apalagi perawatan harus diusahakan secara ekstra, maka yang dapat dilakukan adalah memberhentikan proses pengobatan dan tindakan medis di rumah sakit.
Ada tiga petunjuk yang dapat digunakan untuk menentukan syarat prasarana luar biasa. Pertama, dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah tidak dapat disembuhkan lagi. Kedua, harga obat dan biaya tindakan medis sudah terlalu mahal. Ketiga, dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau tindakan medis tersebut. Dalam kasus-kasus seperti inilah orang sudah tidak diwajibkan lagi untuk mengusahakan obat atau tindakan medis. Bahkan, euthanasia dengan menyuntik mati disamakan dengan tindakan pidana pembunuhan. Alternatif terakhir yang mungkin bisa diambil adalah penggunaan sarana via extraordinaria. Jika memang dokter sudah angkat tangan dan memastikan secara medis penyakit tidak dapat disembuhkan serta masih butuh biaya yang sangat besar jika masih harus dirawat, apalagi perawatan harus diusahakan secara ekstra, maka yang dapat dilakukan adalah memberhentikan proses pengobatan dan tindakan medis di rumah sakit.
Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan
tempat yang diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum
Positif Indonesia, euthanasia akan
mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus yang terakhir yang
pengajuan permohonan euthanasia oleh suami “Again” ke Pengadilan Negeri
Jakarta, belum dikabulkan, pada akhirnya sembuh dari komanya dan dinyatakan
sehat oleh dokter.
Menyinggung masalah
kematian, menurut cara terjadinya, maka ilmu pengetahuan membedakannya ke dalam
tiga jenis kematian, yakni :
1. Orthothanasia, yaitu
kematian yang terjadi karena suatu proses alamiah.
2. Dysthanasia,
yaitu suatu kematian yang terjadi secara tidak wajar
3. Buthanasia,
yaitu suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan
pertolongan dokter. (Sinar Harapan, 1977 ; 8)
Jenis kematian yang
ketiga yaitu euthanasia ini, mulai
menarik perhatian dan mendapat sorotan
dunia, lebih-lebih setelah dilangsungkannya konvrensi Hukum se-Dunia, yang diselenggarakan
oleh World Peace Through Law Center di
Manila (Filipina), tanggal 22 dan 23 Agustus
1977. Dalam konverensi Hukum se-Dunia tersebut, telah diadakan sidang
Peradilan Semu (Sidang Tiruan), mengenai “hak manusia untuk mati” atau the right to die. Yang berperan dalam
sidang tersebut adalah tokoh-tokoh di bidang hukum dan kedokteran dari berbagai Negara di dunia, sehingga
mendapat perhatian yang sangat besar.
Sebenarnya mengenai
hak asasi manusia, di indonesia sendiri mengaturnya sudah banyak tersebar dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dan berbagai perundang-undangan Republik Indonesia
yang lain, namun masalahnya, bahwa saat ini baru merupakan moral right dan belum merupakan Positive
right.
Tantangan bagi masyarakat
umum adalah menggalakkan peningkatan hak-hak asasi warga negara Republik
Indonesia itu dari moral Right
menjadi possitive right sehingga baik
dalam perundang-undangan maupun praktek, negara Indonesia adalah benar-benar
merupakan Negara Hukum, yang menghormati hak-hak asasi warga negaranya.
Berbicara mengenai
hak-hak asasi manusia tidaklah semata-mata merupakan persoalan hukum saja,
tetapi juga merupakan persoalan sosial budaya, ekonomi, sosial, politik suatu
bangsa.dengan demikian masalahnya sangat kompleks, yang meliputi seluruh peri
kehidupan manusia di dalam suatu Negara.
Hak kodrat daripada
manusia yang paling utama adalah hak untuk hidup atau the right to life. Di dalam pengertian “hak untuk hidup” ini
tercakup pula adanya “hak untuk mati” atau the
right to die. Mengenai “hak untuk hidup” telah diakui dunia, dengan
dimasukkan dan diakuinya Universal
Declaration Of Human Rights oleh PBB tanggal 10 Desember 1948. sedangkan
mengenai “hak untuk mati” karena tidak dicantumkan secara tegas dalam suatu
deklarasi dunia, maka masih dalam perdebatan dan pembicaraan di kalangan ahli
berbagai bidang di dunia, seperti diperagakan dalam Peradilan semu, dalam
rangka Konvensi Hukum se-Dunia beberapa
tahun yang lalu di Manila. Ada
beberapa negara yang berpendapat bahwa masalah hidup dan mati itu adalah merupakan
hak daripada Tuhan Yang Maha Esa, bukan hak daripada manusia. Pada umumnya
pendapat itu didasarkan atas pertimbangan segi religius. Disamping itu
dibeberapa negara maju, seperti Amerika Serikat masalah “hak untuk mati”, sudah
diakui bahkan di Negara-negara bagian, ada yang mengaturnya secara jelas dalam
berbagai perundang-undangan.
Kendatipun telah
diakui dalam berbagai perundang-undangan, namun masih diakui pula bahwa “hak
untuk mati” itu tidak bersifat mutlak. Jadi masih terbatas dalam suatu keadaan
tertentu, misalnya bagi penderita suatu penyakit yang sudah tidak dapat lagi
diharapkan penyembuhannya dan pengobatan yang diberikan sudah tidak berpotensi
lagi. Bagi penderita suatu penyakit yang sudah demikian tersebut, diakui dan diperbolehkan menggunakan
“hak untuk matinya” dengan jalan meminta kepada dokter untuk menghentikan
pengobatan yang selama ini diberikan kepadanya, ataupun dengan jalan meminta
agar diberikan obat penenang dengan dosis yang tinggi.
Dengan demikian maka
penderita suatu penyakit yang tak menentu nasibnya tersebut akan mati dengan
tenang. Bagi negara yang telah mengakui keberadaan “hak untuk mati” maka
perbuatan dokter yang telah membantu untuk melaksanakan permintaan seorang
pasien atau dari keluarganya seperti yang diuraikan diatas, mempunyai kekebalan
terhadap criminal liability, maupun
terhadap civil liability.
Sehubungan dengan hal
tersebut diatas, mengenai “hak untuk hidup” dan “hak untuk mati” akan
menyangkut masalah hukum pidana yang disebut sebagai Euthanasia atau mercy killing,
yang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita diatur dalam Pasal 344 KUHP.
Berpangakal tolak dari hal tersebutlah, yang mendorong penulis untuk menyusun
skripsi dengan judul : “Euthanasia di Tinjau dari Aspek Hukum
Pidana Indonesia”
B.
Rumusan
Masalah
Sesuai
dengan judul “Euthanasia di tinjau dari Aspek Hukum Pidana Indonesia”, maka
masalah yang akan dibahas adalah Apakah
Euthanasia sesuai dengan Hukum Pidana Indonesia?
C.
Tujuan
Penelitian
Dalam
pelaksanaan suatu kegiatan pada dasarnya memiliki suatu tujuan tertentu, dalam
penelitian ini pun perlu adanya tujuan yang berfungsi sebagai awal pokok
terhadap masalah yang diteliti. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui Perspektif Euthanasia dalam
Hukum positif di Indonesia.
D.
Manfaat
Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi penulis pribadi dan para pembaca pada umumnya, yaitu antara
lain :
1. Bagi
peneliti sebagai bahan informasi ilmiah dalam rangka mengembangkan ilmu
pengetahuan khususnya mengenai Euthanasia
dilihat dari aspek hukum.
2.
Bagi mahasiswa hukum, untuk memberi
tambahan referensi bagi kepentingan penelitian terhadap masalah Euthanasia di Indonesia.
3. Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap lembaga pemerintahan untuk
mengetahui mengenai euthanasia di
Indonesia
4. Dapat
dipergunakan sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan
langsung dengan hasil penelitian ini.
5. Memberikan
kepada masyarakat luas tentang bagaimana kedudukan Euthanasia di Indonesia
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Pengertian Euthanasia dan Ruang Lingkupnya
1. Pengertian Euthanasia
Kata Euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu
"eu" ( baik) dan "thanatos"
(maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti "kematian yang
baik". Hippokrates
pertama kali menggunakan istilah "euthanasia"
ini pada " sumpah Hippokrates" yang ditulis pada masa
400-300 SM.
Sumpah tersebut berbunyi: "Saya
tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun
meskipun telah dimintakan untuk itu". (Utomo, 2003: 177)
Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati
dengan baik. Sedangkan secara harafiah, euthanasia
tidak dapat diartikan sebagai pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa
seseorang. Menurut Philo (50-20 SM),
euthanasia berarti mati dengan tenang & baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya Vita Caesarum mengatakan bahwa
euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita”. (http://id.wikipedia.org/wiki/Etanasia)
Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law
sejak tahun 1300 hingga saat "bunuh diri" ataupun "membantu
pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan.
Mengenai euthanasia, dapat digunakan
dalam tiga arti: (Djoko Prakoso, 1984 ; 28)
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan
aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir,
2. Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut)
penderitaan pasien diperingan dengan memberikan obat penenang,
3. Mengakhiri
penderitaan dari seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri
dan keluarganya.
Adapun unsur-unsur dalam pengertian euthanasia dalam pengertian diatas
adalah: (Djoko Prakoso, 1984 ; 28)
1. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu,
2. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau
tidak memperpanjang hidup pasien,
3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit
untuk disembuhkan,
4. Atas permintaan pasien dan keluarganya,
5. Demi
kepentingan pasien dan keluarganya.
2. Ruang Lingkup Euthanasia
a. Euthanasia
ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya
Ditinjau
dari sudut maknanya maka Euthanasia dapat digolongkan menjadi tiga
yaitu Euthanasia pasif, Euthanasia agresif dan Euthanasia non agresif
·
Euthanasia agresif :
atau suatu tindakan euthanasia aktif yaitu suatu tindakan secara sengaja
yang dilakukan oleh dokter
atau tenaga kesehatan lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya
dengan memberikan obat-obatan yang mematikan seperti misalnya pemberian tablet sianida atau
menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien.
·
Euthanasia non agresif :
atau kadang juga disebut autoeuthanasia (euthanasia otomatis)yang termasuk kategori etanasia negatif
yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk
menerima perawatan medis dan sipasien mengetahui bahwa penolakannya tersebut
akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia
membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Auto-euthanasia pada dasarnya
adalah suatu praktek Euthanasia pasif atas permintaan.
·
Euthanasia pasif : juga
bisa dikategorikan sebagai tindakan euthanasia negatif yang tidak
menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si
sakit. Tindakan pada euthanasia pasif ini
adalah dengan secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat
memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi
pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan Antibiotika kepada penderita pneumonia
berat ataupun meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup
pasien, ataupun dengan cara pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin walaupun disadari bahwa pemberian morfin ini
juga dapat berakibat ganda yaitu mengakibatkan kematian. Euthanasia pasif ini seringkali secara terselubung dilakukan oleh
kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan
Euthanasia pasif bisa dilakukan oleh
tenaga medis,
maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang atau keputusasaan
keluarga karena ketidak sanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Ini
biasanya terjadi pada keluarga pasien yang tidak mungkin untuk membayar biaya
pengobatannya, dan pihak rumah sakit akan meminta untuk dibuat "pernyataan
pulang paksa". Bila meninggal pun pasien diharapkan mati secara alamiah.
Ini sebagai upaya defensif medis.
(http://www.solusihukum.com/kasus2)
b. Euthanasia ditinjau
dari sudut pemberian izin
Ditinjau
dari sudut pemberian izin maka euthanasia dapat digolongkan menjadi tiga
yaitu :
·
Euthanasia di luar kemauan
pasien : yaitu suatu tindakan euthanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk
tetap hidup. Tindakan euthanasia semacam ini
dapat disamakan dengan pembunuhan.
·
Euthanasia secara tidak
sukarela : Euthanasia semacam ini
adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu
tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang
tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya
statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri
Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali
mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.
·
Euthanasia secara
sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini
juga masih merupakan hal kontroversial.
c. Euthanasia ditinjau dari sudut tujuan
Beberapa
tujuan pokok dari dilakukannya euthanasia antara lain yaitu :
·
Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
·
Euthanasia hewan
·
Euthanasia berdasarkan
bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada euthanasia agresif secara sukarela
Membunuh bisa dilakukan
secara legal. Itulah euthanasia, pembuhuhan legal yang sampai kini masih jadi
kontroversi. Pembunuhan legal ini pun ada beragam jenisnya.
Secara umum, kematian
adalah suatu topik yang sangat ditakuti oleh publik. Hal demikian tidak terjadi
di dalam dunia kedokteran atau kesehatan. Dalam konteks kesehatan modern,
kematian tidaklah selalu menjadi sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Kematian
dapat dilegalisir menjadi sesuatu yang definit dan dapat dipastikan tanggal
kejadiannya. Euthanasia memungkinkan hal tersebut terjadi.
Euthanasia adalah tindakan
mengakhiri hidup seorang individu secara tidak menyakitkan, ketika tindakan
tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk meringankan penderitaan dari
individu yang akan mengakhiri hidupnya. (Djoko Prakoso, 1984 : 72)
Ada empat metode euthanasia: (Muladi,
1977 : 24)
·
Euthanasia
sukarela: ini dilakukan oleh individu yang secara sadar menginginkan kematian.
·
Euthanasia
non sukarela: ini terjadi ketika individu tidak mampu untuk menyetujui karena
faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental. Sebagai contoh dari kasus ini
adalah menghentikan bantuan makanan dan minuman untuk pasien yang berada di
dalam keadaan vegetatif (koma).
·
Euthanasia
tidak sukarela: ini terjadi ketika pasien yang sedang sekarat dapat ditanyakan
persetujuan, namun hal ini tidak dilakukan. Kasus serupa dapat terjadi ketika
permintaan untuk melanjutkan perawatan ditolak.
·
Bantuan bunuh diri: ini sering
diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk euthanasia. Hal ini terjadi ketika
seorang individu diberikan informasi dan wacana untuk membunuh dirinya sendiri.
Pihak ketiga dapat dilibatkan, namun tidak harus hadir dalam aksi bunuh diri
tersebut. Jika dokter terlibat dalam euthanasia tipe ini, biasanya disebut
sebagai ‘bunuh diri atas pertolongan dokter’. Di Amerika Serikat, kasus ini
pernah dilakukan oleh dr. Jack Kevorkian.
B. Euthanasia dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana
Euthanasia
dalam Oxford English Dictionary
dirumuskan sebagai “kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam
kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan”. Istilah yang
sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini adalah mercy killing (Tongat, 2003 :44). Sementara itu menurut Kamus
Kedokteran Dorland, euthanasia mengandung dua pengertian.
Pertama, suatu kematian yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan
dengan kemurahan hati, pengakhiran kehidupan seseorang yang menderita penyakit
yang tak dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hati-hati dan disengaja.
(Tongat, 2003 : 44)
Secara
konseptual dikenal tiga bentuk euthanasia,
yaitu :
1. voluntary euthanasia
(euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri karena penyakitnya tidak
dapat disembuhkan dan dia tidak sanggup menahan rasa sakit yang diakibatkannya);
2. Non voluntary euthanasia (di
sini orang lain, bukan pasien, mengandaikan, bahwa euthanasia adalah pilihan
yang akan diambil oleh pasien yang berada dalam keadaan tidak sadar tersebut
jika si pasien dapat menyatakan permintaannya);
3. involuntary euthanasia
(merupakan pengakhiran kehidupan pada pasien tanpa persetujuannya). (Utomo,
2003: 175).
Munculnya
pro dan kontra seputar persoalan euthanasia
menjadi beban tersendiri bagi Pakar
hukum. Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah persoalan euthanasia akan bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum
(pidana) positif memberikan regulasi/pengaturan terhadap persoalan euthanasia
akan sangat membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut.
Lebih-lebih di tengah kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra
tentang legalitasnya. (http://mytaste.wordpress.com/euthanasia)
Patut
menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di
Indonesia hanya dikenal 2
bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan
pasien/korban itu sendiri dan euthanasia yang dilakukan dengan sengaja
melakukan pembiaran terhadap pasien/korban sebagaimana secara eksplisit diatur
dalam Pasal 344 dan 304 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan : (Moeljatno, 2005 : 116)
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati
diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”
Sementara dalam pasal 304
KUHP dinyatakan:
“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau
membiarkan seorang dalam keadaan sengsara,padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan,perawatan atau
pemeliharaan kepada orang itu,diancam dengan pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah”
Dari
bunyi pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak diperbolehkan
melakukan pembunuhan terhadap orang lain, walaupun pembunuhan itu dilakukan
dengan alasan membiarkan dan atas permintaan orang itu sendiri . Sulit rasanya
membayangkan seseorang yang sampai hati
“membunuh’ atau dengan perkataan lain “merampas nyawa” orang lain apalagi yang
dikenalnya atau yang perlu ditolongkan, atas permintaan yang bersangkutan yang
tengah menderita sakit parah yang tak tersembuhkan misalnya. Pasti makin sulit
lagi, kalau ini dikaitkan
lebih lanjut dengan masalah moral dan kemanusiaan. Namun dalam masa-masa
mendatang, karena sesuatu hal tidak mustahil permasalahan merampas nyawa orang
lain yang sangat dikasihani atau yang perlu untuk ditolong atau membiarkan
nyawanya dirampas maut atas permintaan yang bersangkutan, kiranya sulit untuk
dihindari. (Muljatno, 1971 : 117)
Bertolak
dari ketentuan Pasal 344 dan 304 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan dengan
sengaja membiarkan sengsara dan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam
pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di
Indonesia euthanasia tetap dianggap
sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di
Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun
atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi
sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa
yang melanggar larangan tersebut.
Mengacu
pada ketentuan tersebut di atas, maka munculnya kasus permintaan tindakan medis
untuk mengakhiri kehidupan yang muncul akhir-akhir ini (kasus Hasan Kesuma yang
mengajukan suntik mati untuk istrinya, Ny. Agian dan terakhir kasus Rudi
Hartono yang mengajukan hal yang sama untuk istrinya, Siti Zuleha) perlu
dicermati secara hukum. (http://www.solusihukum.com/kasus2.php)
Kedua
kasus ini secara konseptual dikualifikasi sebagai non voluntary euthanasia, tetapi secara yuridis formal (dalam KUHP)
dua kasus ini tidak bisa dikualifikasi sebagai euthanasia sebagaimana diatur
dalam Pasal 344 KUHP. Secara yuridis formal kualifikasi (yang paling mungkin)
untuk kedua kasus ini adalah pembunuhan biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal
338 KUHP, atau pembunuhan berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP.
Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan : (Moeljatno, 2005: 114)
“ Barang siapa sengaja merampas nyawa orang
lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun”.
Sementara
dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dinyatakan :
“
Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang
lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.
Di
luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan
untuk menjerat pelaku euthanasia,
yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga dinyatakan :
“Kejahatan yang dilakukan dengan memberikan
bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”.
Selain
itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal
304 dan Pasal 306 (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan,
“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau
membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau
pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”.
Sementara
dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan : “Jika mengakibatkan kematian,
perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”.
Dua
ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam konteks
hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga
dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna
melarang terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia.
(Moeljatno, 2005 : 121)
Sebelumnya
jika kita memperhatikan pasal-pasal yang menyangkut jiwa manusia dalam KUHP tersebut
diatas, maka kitapun dapat mengetahui bagaimana sebenarnya pembentuk
undang-undang ini, pandangannya terhadap jiwa manusia itu. Secara singkat, dari
sejarah pembentukan KUHP dapat diketahui, bahwa pembentuk undang-undang pada
saat itu (zaman Hindia Belanda), juga menganggap bahwa Jiwa manusia sebagai
miliknya yang paling berharga, dibandingkan miliknya yang paling berharga
dibandingkan dengan milik manusia lainnya. Oleh sebab itu, setiap perbuatan
apapun motif dan coraknya sepanjang perbuatan tersebut mengancam keamanan dan
keselamatan jiwa manusia, hal ini dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh Negara, selalu dilindungi Negara. Dalam
hal ini tidak boleh dilupakan adanya dua kepentingan yakni kepentingan
masyarakat dan kepentingan individu yang dituntut.
“Kepentingan
masyarakat, bahwa seseorang telah melanggar suatu peraturan hukum pidana, harus
mendapatkan hukuman yang setimpal dengan kesalahannya, guna keamanan masyarakat
dan kepentingan orang yang dituntut, bahwa ia harus diperlakukan sedemikian
rupa sehingga jangan sampai orang yang tidak berdosa mendapat hukuman, atau
kalau memang ia berdosa, jangan sampai ia mendapatkan hukuman yang terlalu
berat, tidak seimbang dengan kesalahannya”. (Wirjono Prodjodikoro, R, 1977 :
16).
Pandangan
dari pembentuk Undang-Undang Hindia Belanda itu rupanya masih tetap dianut oleh
pemerintah sekarang masa orde baru. Ini terbukti bahwa dalam KUHP sendiri,
perihal keselamatan dan keamanan jiwa manusia masih dijamin dengan tanpa
perubahan sedikitpun. Memang merupakan kenyataan sampai sekarang, bahwa tanpa
membedakan agama, ras, warna kulit dan ideology, tentang keselamatan dan
keamanan jiwa manusia Indonesia dijamin oleh Undang-Undang. Hal ini juga merupakan pencerminan
daripada prinsip Equality before the law
yang tentunya harus juga diterapkan terhadap keamanan dan keselamatan jiwa
manusia.
Dalam
pasal , kalimat “permintaan sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati”
haruslah mendapatkan perhatian, karena unsur inilah yang akan menentukan apakah
orang yang melakukannya dapat dipidana berdasarkan 344 KUHP . Agar supaya unsur
ini tidak disalahgunakannya, maka dalam menentukan benar tidaknya seseorang
telah melakukan pembunuhan karena kasihan ini, unsur permintaan yang tegas (unitdrukkelijk), dan unsur sungguh (ernstig), harus dapat dibuktikan baik
dengan adanya saksi atau pun oleh alat-alat bukti yang lainnya, sebagaimana
disebutkan dalam pasal 295 HIR sebagai berikut : (Utomo, 2003: 126)
Sebagai
upaya bukti menurut undang-undang, hanya diakui :
1.
Kesaksian-kesaksian
2.
Surat-surat
3.
Pengakuan
4.
Isyarat-isyarat.
Jadi
apabila kita perhatikan pasal 344 KUHP tersebut diatas, agar seseorang dapat
dikatakan telah memenuhi pasal itu, maka public
prosecutor (penuntut umum/jaksa) harus dapat membuktikan adanya unsur
“permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati”. (Karjadi,
1975 : 84)
Dengan
kemajuan teknik yang pesat, khususnya dalam dunia kedokteran, hal “merampas
nyawa” atau membiarkan orang yang nyawanya dirampas maut”, baik atas permintaan
sendiri karena suatu penyakit yang sangat mustahil dapat disembuhkan, maupun
atas dasar perikemanusiaan karena tidak tahan melihat yang bersangkutan
menderita, pasti menimbulkan berbagai
komplikasi, antara lain yang menyangkut bukan saja masalah etika kedokteran, atau
terlebih-lebih menyangkut hukum
pidana, yang bertalian dengan masalah Euthanasia
atau “Mercy Kelling”.
Dalam
hal ini Bruce Vediga dalam
tulisannya “Euthanasia and the right to
die, moral and legal perspective”. Mengungkapkan bahwa masalah Euthanasia
bukan saja masalah sematik, tetapi juga masalah Substansi.
Berkaitan
dengan masalah Euthanasia ini, maka Dr. J.E, Sahetapy S.H., didalam tulisannya
pada Majalah Badan Pembinaan Hukum Nasional, membedakan Euthanasia ini kedalam tiga jenis yaitu :
1.
Action to permit death to Occur
2.
Failure
to take action to prevent death
3.
Positive
action to couse death
Dari
ketiga perbedaan Euthanasia tersebut
diatas, dapat dijelaskan bahwa pada jenis Euthanasia
yng pertama, kematian dapat terjadi karena pasien dengan sungguh-sungguh dan
secara cepat menginginkan untuk mati. Dalam hal ini pasien sadar dan tahu bahwa
penyakit yang dideritanya itu tidak akan disembuhkan walaupun diadakan
pengobatan dan perawatan secara baik. Oleh sebab itu, pasien tersebut kemudian
meminta kepada dokter agar dokter tidak usah memberikan pengobatan kepadanya
guna penyembuhan terhadap penyakit yang dideritanya itu. Disamping itu pasien
meminta untuk tidak diadakan perawatan di Rumah Sakit lagi, namun supaya
dibiarkan saja dirumah pasien sendiri. Pasien tersebut akan merasa bahagia,
bahwa ia akan segera mati dengan tenang disamping keluarganya. Dalam hal ini
memberikan izin segala permohanan pasien
itu. Jadi kematian si pasien itu terjadi seolah-olah merupakan kerjasama si
pasien dan dokter yang semula merawatnya. Jenis euthanasia inilah yang biasa disebut sebagai euthanasia dalam arti yang pasif (Permission). (Sahetapi, 1976 : 23)
Berbeda
dengan jenis Euthanasia yang pertama,
maka pada jenis Euthanasia yang kedua, kematian terjadi karena kelalaian atau
kegagalan dari seorang dokter dalam mengambil tindakan untuk mencegah adanya
kematian.hal ini terjadi bilamana dokter akan mengambil suatu tindakan untuk
guna mencegah kematian, akan tetapi ia tidak mengerjakan sesuatu apa-apa,
karena ia tahu bahwa pengobatan yang akan diberikan kepada pasien itu adalah
sia-sia belaka. Jika ia akan memberikan
pengobatan, maka dipandang sebagai suatu tindakan yang tidak berarti,
sehingga sudah tidak ada lagi untuk penyembuhan secara normal. Akhirnya pasien
dibiarkan begitu saja, sampai ajalnya tiba dengan sendirinya. Pada dasarnya Euthanasia jenis yang kedua ini adalah
sama dengan jenis Euthanasia jenis
yang pertama. Letak perbedaannya adalah pada tindakan membiarkan pasien mati
dengan sendirinya tanpa mengadakan pencegahan. Jika pada jenis yang pertama,
tindakan membiarkan ini muncul karena adanya persetujuan dari kedua belah
pihak, yaitu persetujuan antara pasien dan dokter yang merawatnya, sedangkan
pada jenis yang kedua, maka tindakan itu timbul hanya dating dari salah satu
pihak saja, yaitu dari dokter yang merawatnya.
Euthanasia jenis
yang ketiga, merupakan tindakan yang positif dari dokter untuk mempercepat
terjadinya kematian. Jadi berbeda dengan jenis yang pertama diatas, yang
bersifat pasif. Maka pada jenis yang ketiga ini bersifat aktif (causation) dari
tindakan yang aktif ini, seorang pasien akan segera mati dengan tenang,
misalnya dengan memberikan injeksi dengan obat yang menimbulkan kematian, obat
penghilang rasa kesadaran dalam dosis yang tinggi, dan lain-lain. (Sahetapi,
1976 : 26)
Antara
Euthanasia jenis yang pertama dan
yang ketiga ini, sama-sama didasarkan atas permintaan/desakan kepada dokter
dari si pasien ataupun dari keluarganya. Hanya saja pada jenis yang pertama
dokter bersifat pasif, sedang pada jenis yang ketiga dokter lebih bersifat
aktif dalam mengambil tindakan untuk
mempercepat proses terjadinya kematian.
Apabila
dikaitkan dengan ketiga jenis Euthanasia
tersebut diatas, maka rumusan yang terdapat di dalam Pasal 344 KUHAP adalah
sesuai dengan jenis euthanasia yang
ketiga, yaitu euthanasia yang
bersifat aktif. Namun masalahnya sekarang adalah apakah pasal 344 KUHP itu
dapat diterapkan atau dapat dipakai sebagai dasar penuntutan oleh jaksa?
Mengapa tidak!, kalau tidak pasti Pasal 344 KUHP itu tidak terciptakn. Tetapi
ketika Pasal tersebut diciptakan oleh pemerintah colonial Belanda dahulu, dunia
kedokteran masih belum semaju seperti sekarang ini. Bahkan dalam pasal tersebut
dinyatakan secara jelas “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan
sendiri” ditambah pula dengan kata-kata “ yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati” lopdiens uitdrukkelijk
en ernsting verlange). Bahwa perumusan
ini sudah pasti menimbulkan suatu kesulitan dalam proses pembuktian, karena
dapat dibayangkan bahwa orang yang dinyatakan dengan kesungguhan hati itu sudah
berpulang kealam baka. Oleh sebab itu, pernyataan dengan kesungguhan hati ini tidak boleh diucapkan
secara lisan, sebaiknya dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh
saksi-saksi, sehingga pada proses pembuktiannya di Pengadilan nanti, surat pernyataan ini dapat
dipakai sebagai alat bukti. (Djokoprakoso, 1984 : 83)
Timbul
masalah lagi, bagaimana jika yang bersangkutan tidak mampu lagi berkomunikasi
dalam bentuk dan dengan cara apapun, sehingga tidak dapat menyatakan dengan
kesungguhan hati? Karena kita tahu bahwa dalam masalah Euthanasiaini biasanya pasien dalam keadaan mati tidak, hidup pun
tidak (in a persistent vegetative state).
Sebagai contoh yang sangat popular, adalah yang terjadi di Amerika Serikat
yaitu kasus Karen Ann Quinlan yang telah berada dalam suatu “Persis tent vegetative state”. Mengenai
kasus ini akan dibahas pada bab yang berikutnya. Dalam hal ini apakah seorang
dokter dapat dituntut berdasarkan pasal 344 KUHP? Kalau dilihat dari perumusan
Pasal tersebut, baik dalam konteks penafsiran yang dikenal dalam dunia ilmu
hokum, maupun dalam bentuk penafsiran yang dikenal baru, maka menurut hemat
kami pasal 344 KUHP ini sulit untuk dapat diterapkan. Apabila akan diterapkan
pasal 344 KUHP merasa kesulitan, dapatkah penuntut umum (jaksa) menuduh seorang
dokter berdasarkan Pasal 344 KUHP.
Apabila
kita perhatikan lebih lanjut, dari ketiga Pasal tersebut diatas, yaitu Pasal
338. 340 dan 344 KUHP, ketiga-tiganya dalah mengandung makna larangan untuk
membunuh. Selanjutnya Pasal 338 KUHP merupakan aturan umum daripada perampasan
nyawa orang lain. Pasal 340 KUHP aturan khususnya, krena dengan dimasukkannya
unsure “dengan rencana lebih dahulu”. Oleh sebab itu, pasal 340 KUHP ini biasa
dikatakan sebagai Pasal Pembunuhan yang direncanakan atau pembunahan berencana.
Begitu pula jika diperhatikan lebih lanjut, bahwa Pasal 344 KUHP pun merupakan
aturan khusus daripada Pasal 338 KUHP. Hal ini, karena disampaing pasal 344
KUHP tersebut mengandung makna
perampasan nyawa atau pembunuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHP, pada
Pasal 344 KUHP ditambahkan unsur “atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan
dengan kesungguhan hati”. Jadi masalah Euthanasia
ini dapat menyangkut dua aturan hokum , yakni Pasal 338 dan Pasal 344 KUHP. Dalam hal ini terdpat
apa yang disebut sebagai concursus
idealis, yang merupakan sisitem pemberian pidana juga terjadi satu
perbuatan pidana yang masuk dalam beberapa peraturan hokum. Concursus ideals ini diatur dalam Pasal
63 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyebutkan bahwa: (Moeljatno,
2005 : 27)
1.
Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari
satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan
itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yng memuat ancaman pidana pokok yang
paling berat.
2.
Jika suatu perbuatan yang masuk dalam satu
aturan pidana yang umum diatur pula dlam turan pidana yang khusus, maka hanya
yang khusus itulah yang dikenakan.
Pasal
63 (2) KUHP ini mengandung asas Lex
Specialis de rogat legi generali, yaitu bahwa peraturan-peraturan yang
khusus akan mendesak atau mengalahkan peraturan-peraturan yang sifatnya umum.
Yang dimaksudkan sebagai peraturan khusus di sini adalah :
“Peraturan pidana yang mempunyai atau memuat
unsure-unsur yang termuat dalam peraturan pidana yang umum, akan tetapi juga
memuat peraturan-peraturan pidana yang tak termuat dalam peraturan pidana
umum”.
Sehubungan
dengan adanya Concursus idealsis ini,
maka Hazewinkel Suringa (1993 ; 42), mengatakan sebagai berikut :
“Ada
Concursus idealis, apabila pernyataan yang sudah memenuhi suatu rumusan delik,
mau tidak mau juga masuk dalam pertauran pidana lain, baik karena bnyaknya
peraturan-peraturan yang dibuat oleh pembentuk undang-undang, maupun karena
diaktifkannya aturan-aturan lain berhubungan dengan cara dan tempat perbuatan
itu dilakukan, orang yang melakukan dan obyek terhadap apa perbuatan itu
dilakukan.”
Dengan
adanya hal-hal tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa masalah Euthanasia yang menyangkut dua aturan
hukum, yaitu Pasal 338 dan 344 KUHP, maka yang dapat diterapkan adalah masalah
Pasal 344 KUHP. Apabila tidak terdapat asas Lex
specialis derogate legi generali yang disebutkan dalam Pasal 63 (2) KUHP itu,
maka aturan pemidanaan yang dipakai adalah Pasal 338 KUHP. Hal ini disebabkan
karena ancaman pidna penjara pada Pasal 338 yaitu 15 Tahun, lebih berat
daripada ancaman pidana yang terdapat pada Pasal 344 KUHP (yang hanya 12
tahun). Hal ini dapat dimengaerti karena dalam Concursus ideais akan diterapkan system absorbsi, sebagaimana disebutkan pada Pasal 63 (1) KUHP, yang
memilih ancaman pidanya yang terberat. Oleh sebab itu, didalam KUHP kita, hanya
ada satu pasal saja yang mengatur tentang masalah Euthanasia, yaitu hanya Pasal 344 KUHP. (Simorangkir, 1979 : 19)
C. Euthanasia dalam Ilmu Kedokteran
Tugas
professional dokter begitu mulia dalam pengabdiannya kepada sesame manusia dan
tanggung jawab dokter makin tambah berat akibat kemajuan-kemajuan yang dicapai
oleh ilmu kedokteran. Dengan demikian, maka setiap dokter perlu menghayati etik
kedokteran, sehingga kemulyaan profesi dokter tersebut tetap terjaga dengan
baik. Para dokter, umumnya semua pejabat dalam
bidang kesehatan,harus memenuhi segala syart keahlian dan pengertian tentang
susila jabatan. Keahlian di bidang ilmu dan tekhnik baru dapat member manfaat
yang sebesar-besarnya. Kalau dalam prakteknya disertai oleh norma-norma etik
dan moral. Hal tersebut diinsyafi oleh par dokter diselruh dunia, dan hamper
tiap-tiap Negara telah mempunyai kode etik kedokterannya sendiri-sendiri. Pada
umumnya kode etik tersebut didasarkan pada sumpah Hipocrates yang dirumuskan kembali dalam pernyataan himpunan Dokter
sedunia di London bulan Okober 1949 dan diperbaiki oleh siding ke 22 Himpunan
tersebut di Sydney bulan Agustus 1968. (Wibudi Aris, 2002 ; 12)
Sejak
permulaan sejarah kedokteran, seluruh umat manusia mengakui serta mengetahui akan
adanya beberapa sifat fundamental yang melekat secara mutlak pada diri
sesseorang dokter yang baik dan bijkasana, yaitu kemurnian niat, kesungguhan
dalam bekerja, kerendahan hati serta integritas ilmiah dan social yang tidak
diragukan. Oleh sebab itulah, para dokter diseluruh dunia bermaksud berdasarkan
tradisi dan disiplin kedokteran tersebut dalam suatu etik professional yang
sepanjang masa mengutamakan penderita yang minta berobat serta keselamatan dan
kepentingan penderita tersebut. Sejak permulaan sejarah kedokteran pula para
dokter berkeyakinan bahwa suatu etik kedokteran sudah sewajarnya dilandaskan
atas asas-asas etik yang mangatur hubungan
antar manusia dan umumnya. Disamping itu harus memiliki akar-akarnya
dalam filsafat masyarakat yang diterima dan dikembangkan terus dalam masyarakat
itu. (http://jelita249.blogspot.com/
2009/euthanasia-dalam-praktek-kedokteran.)
Secara
universal, kewajiban dokter tersebut telah tercantum dalam Declaration Of Genewa yang merupakan hasil musywarah Ikatan Dokter
se-Dunia di Genewa pada bulan September 1948. Didalam Declarasi tersebut antara
lain dinyatakan sebagai berikut :
“ I will maintain the atmost respect for
human life from the time of conception,
even under threat, I will not use my medical knowledge contrary to the lows of
humanity.”
Khusus
untuk di Indonesia, pernyataan semacam
ini secara tegas telah dicantumkan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia,yang
mulai berlaku sejak tanggal 29 Oktober 1969, berdasarkan surat keputusan
Menteri Kesehatan RI tentang : Pernyataan berlakunya Kode Etik Kedokteran
Indonesia, tertanggal 23 Oktober 1969. Kode Etik kedokteran Indonesia ini dibuat berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan RI tanggal 30 Agustus 1969 No. 55/WSKN/1969.
Dengan
demikian, berarti di Negara manapun di dunia ini seorang dokter mempunyai
kewajiban untuk “menghormati setiap
hidup insan mulai saat terjadinya pembunuhan” dalam hal ini berarti pula bhwa
bagaimana pun gawatnya sakit seorang pasien, setiap dokter tetap harus
melindungi dan mempertahankan hidup
pasien tersebut. Dalam keadaan demikian mungkin pasien itu sebenarnya sudah
tidak dapat disembuhkan lagi, atau sudah dalam keadaan sekarat berbulan-bulan
lamanya. Akan tetapi dalam hubungan ini, dokter tidak boleh melepaskan
diri dari kewajiban untuk selalu
melindungi hidup manusia, sebagaiman yang diucapkan dalam sumpahnya. Semua
perbuatan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien dengan tujuan untuk
memelihara kesehatan dan kebahagiaannya. Dengan sendirinya ia hrus member
pertolongan guna mempertahankan dan memeliharan kehidupan manusia. Walaupun
kadang-kadang ia terpaksa melakukan operasi yang sangat membahayakan, akan
tetapi tindakan ini di ambil setelah di pertimbangkan secara mendalam bahwa
tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan jiwa, supaya pasien dapat terhindar
dari ancaman maut. Sekalipun dalam operasi tersebut mengandung banyak resiko.
Oleh sebab itulah, sebelum operasi di mulai perlu adanya pernyataan persetujuan
secara tertulis dari pasien dan keluarganya. (Djoko Prakoso, 1984 ; 81)
Karena
naluri terkuat dari manusia adalah mempertahankan hidupnya, dan ini juga
termasuk salah satu tugas seorang dokter, maka menurut etika kedokteran, dokter
tidak diperbolehkan : (Panitia Redaksi Musyawarah Kerja Susila Kedokteran
Nasional, 1969 : 20)
1. Menggugurkan
kandungan (abortus provocatus),
Tidak hanya dalam dunia
kedokteran, ternyata masalah abortus
provocatus ini pun dalam hukum
pidana kita juga dilarang. Sebagai contoh dapat kita lihat dalam pasal 346 KUHP,
yang menyatakan sebagai berikut :
“Seorang wanita yang sengaja
menggugurkan atau mematikankandungannya atau menyuruh orang lain untuk
itu,diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Walaupun abortus provocatus ini merupakan
perbuatan yang terlarang, namun hal ini masih dapat diterobos oleh seorang
dokter, dengan pertimbangan untuk pengobatan dan apabila perbuatan itu hanya
merupakan satu-satunya jalan untuk menolong jiwa si ibu dari bahaya maut.
Keputusan melakukan abortus provocatus
ini harus diambil sekurang-kurangnya oleh dua dokter, dengan persetujuan
tertulis daripada perempuan yang hamil dan suaminya, atau keluarganya yang
terdekat. Abortus jenis ini disebut
sebagai : abortus provocatus
therapeuticus.
2. Mengakhiri
hidup seseorang pasien, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak mungkin akan
sembuh lagi (Euthanasia).
Karena penderitaan yang
tidak tertahankan lagi, bukan mustahil pasien yang penyakitnya sudah tidak
mungkin disembuhkan itu, minta agar hidupnya diakhiri saja. Sampai sebegitu
jauh, tidak semua orang setuju akan prinsip Euthanasia.
Para dokter pun begitu halnya. Pada umumnya
kelompok yang menentang, mengemukakan alasan yang bertitik tolak dari segi
religious. Pada pokoknya kelompok ini menyatakan, segala sesuatu yang dialami oleh
manusia memang dijadikan oleh Tuhan dan harus dipikul oleh manusia, karena hal
itu mengandung makna dan tujuan tertentu. Dengan demikian berarti penderitaan seseorang dalam sakit
yang tengah dideritanya, walau bagaimanapn keadaannya memang sudah menjadi
kehendak Tuhan. Oleh sebab itu mengakhisri hidup seseorang yang sedang menerima
cobaan Tuhan tentunya tidak dibenarkn. Argumentasi yang demikian tadi
rupa-rupanya juga dikemukakan dalam penjelasan Kode Etik Kedokteran Indonesia,
BB II, Pasal 9 yang sekaligus juga mencerminkan sikap atau pandangan para
dokter di Indonesia, tentang prinsip Euthanasia.
Sebaliknya
bagi kelompok yang menyetujui adanya Euthanasia
itu, disertai argumentasi bahwa perbuatan demikian, terpaksa dilakukan atas
dasar perikemanusiaan. Mereka tidak tega melihat penderitaan yang dialami oleh
pasiennya, dan telah berulang kali minta kepadanya agar penderitaannya itu
diakhiri saja. Dalam hubungan ini dr. R. Soerarjo Darsono (1889 ; 34),
memberikan contoh sebagai berikut :
· Seseorang
wanita yang telah hamil tua, kemudian mengalami suatu kecelakaan yang sangat
parah, sehingga lehernya putus, dengan demikian wanita tersebut telah mati.
Masalahnya sekarang bagaimana dengan bayi yang masih berada di dalam perut sang
ibu itu, yang menurut pemeriksaan dokter diperkirakan masih hidup. Bagaimana
sikap seorang dokter dalam mengahadapi keadaan demikian? Sedangka dokter
dituntut untuk bertindak. Apakah harus membuka perut si wanita tadi dan
mengambil bayinya, ataukah membeiarkan begitu saja? Jika dilakukan, apakah
tidak mendahului kehendak Tuhan? Jadi merupakan hal yang sangat dilematis.
Dalam hal ini ada dua pendpat diantara para dokter, yang mengatakan :
a.
Harus dibuka, demi keselamatan dan
kelangsungan hidup si bayi itu.
b.
Biarkan saja, biar tuhan saja yang
melahirkannya.
· Seorang yang menderita penyakit kanker ganas,
pada stadium permulaan memang tidak terasa sakit, namun pada stadium terakhir,
maka sakitnya bukan main dan hampir mendekati dosis kematian. Dalam hal
demikian, ada sebagian dokter yang beranggapan sebaiknya diberi obat penghilang
kesadaran dosis yang tinggi, sehingga akhirnya orang ini mati, juga untuk
menghindari supaya tidak terjadi penularan penyakit ini. Dipihak lain
menghendaki agar jangan diberi obat itu, dan jika terpaksa diberinya, maka
setidak-tidaknya hanya untuk mengurangi rasa sakit-sakitnya saja, dan dokter
tetap melindungi kehidupan pasien ini.
Ketiga jenis euthanasia di atas, ternyata pada jenis yang ketiga inilah yang
senada dengan euthanasia yang
dilarang oleh hokum pidana kita, dan diatur dalam Pasal 344 KUHP.
Dibeberapa
Negara maju seperti Eropa dan Amerika mulai banyak terdengar suara-suara yang
pro terhadap prinsip adanya euthanasia ini.
Mereka berusaha mengadakan suatu gerakan untuk menguatkan dalam Undang-Undang
Negaranya. Bagi orang-orang yang kontra terhadap prinsip eutahanasia, berpendapat bahwa tindakan demikian itu sama saja
dengan membunuh.Indonesia sebagai Negara yang beragama dan ber-Pancasila,
percaya kepada kekuasaan mutlak daripada Tuhan Yang Maha Esa. Segala sesuatu
diciptakan-Nya, dan penderitaan yang dibebankan kepada makhluk manusia, ada
arti dan maksudnya. Oleh sebab itu, dokter harus mengerahkan segala kepandaian
dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup, tidak
untuk mengakhiri hidup daripada sesama manusia. (Djman Andhi Nirwanto, 1984 :
76)
D. Pidana Mati “Euthanasia” dan Hak-Hak Asasi Manusia
Sebagai
titik tolak dalam pembahasan masalah Hak Asasi manusia di Indonesia ini, maka
sorotan kita tidak terlepas daripada Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila,
karena Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar dari segala peraturan
Perundang-Undangan yang ada di Indonesia. Begitu pula pancasila adalah
merupakan sumber dari segala sumber Tertib Hukum Indonesia.
Undang-Undang
Dasar 1945 yang terdiri dari pembukaan yang memuat pancasila dan batang tubuh,
lahir tiga setengah tahun sebelum lahirnya Universal
Declaration Of Human Rights. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
merupakan pengendapan dari cita-cita dan pengalaman bangsa Indonesia untuk
menghapuskan penjajahan. Oleh sebab itu pada pembukaan Undang-Undang Dasar
1945, dimulai dengan menonjolkan hak setiap bangsa untuk merdeka, sebagaimana
dinyatakan pada alinea pertamanya sebagai berikut :
“Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan
diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan”.
Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 alinea pertama, maka nyatalah dengan terang adanya
hubungan pokok antara Pancasila dan hak-hak asasi manusia, khususnya hak asasi
kemerdekaan segala bangsa. Seperti diketahui bahwa perikemanusiaan dan
perikeadilan merupakan juga perumusan di dalam pancasila, yakni yang tercantum
pada sila kedua dan sila ke empat. Perikemanusiaan meliputi segala
pandangan hidup yang tertujukan kepada
manusia, baik dalam pergaulannya di dalam masyarakat, maupun dalam hubungannya
dengan negara, dalam segala bentuk dan gerakannya. Maka dari sila kemanusiaan
ini harus meliputi dan mengisi segala peraturan hukum, baik perdata maupun
pidana dan harus menjadi sendi daripada seluruh kehidupan ekonomi dan sosial.
Pokok-pokok dari peraturan kemanusiaan yang adil dan beradab itu adalah seperti
yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 ayat (1), yang
menyatakan bahwa negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuallinya.
(Tasrip. S, 1979 : 26)
Dengan
pemasukkan beberapa pasal mengenai hak-hak asasi manusia ke dalam Undang-Undang
Dasar 1945 tersebut, sebenarnya apa yang disebut dalam The Four Freedom of F.D. Roosevelt, semua telah tercakup di
dalamnya. Pasal-pasal tersebut adalah :
E. Pasal
28 UUD 1945 : Kebebasan
mengutarakn pendapat
F. Pasal
29 (2) UUD 1945 : Kebebasan beragama
G. Pasal
27 (1) UUD 1945 : Kebebasan dari
ketakutan
H. Pasal
33 UUD 1945 : Kebebasan dari kekurangan.
Adapun
bunyi dari pasal-pasal tersebut diatas
dapat dikutip sebagai berikut :
Pasal 28 UUD 1945
“Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pendapat dengan lisan atau tulisan dan
sebagainya, ditetapkan dengan Undang-Undang”
Pasal
29 (2) UUD 1945
“Negara
mnjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”
Pasal
27 (1) UUD 1945
“Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”
Pasal
27 (2) UUD 1945
“Tiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”
Sudah
sejak lama masalah pidana mati ini menjadi bahan perdebatan di kalangan ahli hukum
pidana. Tetapi hingga sekarang belum ada kata sepakat tentang perlu atau tidaknya
pidana mati itu untuk dipertahankan. Jadi masalahnya masih merupakan pro dan
kontra, dan rasanya memang sampai kapanpun kiranya masalah ini akan terus
begitu saja. Sebagian Negara di dunia ini masih akan terus mempertahankan
adanya pidana mati, termasuk di dalamnya Indonesia. Sebagian pula ada yang
telah mengahapuskannya dalam Undang-Undang negaranya, dengan disertai alasan-alasan
tertentu. Para sarjana pun ada yang kontra dan
ada pula yang pro terhadap pidana mati. Menurut Bichon Van Ysselmonde,
Lambrosso, Garofalo merupakan para ahli yang pro akan pidana mati, pada umumnya
mereka mendasarkan argumentasinya bahwa pidana mti itu dirasakan lebih praktis,
biaya ringan,lebih pasti daripada pidana penjara, yang selama ini
dijatuhkan oleh pengadilan manapun.
Disamping itu dikatakannya, bahwa pidana penjara sering diikuti kemungkinan
melarikan diri bagi yang dikenal, sehingga bagi seorang yang dianggap terlalu
jahat, kemudian dijatuhi pidana mati, maka hilanglah rasa ketakutan kita, kalau
orang yang demikian itu melarikan diri dri penjara dan kemudian membikin
kejahatan lagi dalam masyarakat. (Simorangkir, 1979 ; 22)
Terlepas
dari cara yang dilakukan, secara alamiah maka pidana mati adalah bertentangan
dengan kodrat alam. Naluri manusia selalu ingin mempertahankan hidupnya dari
segala serangan yang menimpa atas dirinya. Dia pasti akan melakukan sesuatu dan
mempertahankan diri, seandainya akan dibunuh oleh orang lain. Begitu pula seseorang yang sedang sakit pasti akan
berusaha pula untuk berobat, agar cepat sembuh, disamping dia selalu berdoa
kepada Tuhan bagi yang mengakui adanya Tuhan. Dengan demikian hidup adalah
merupakan kehendak yang paling dasar
dari bagi setiap manusia normal. Oleh sebab itu, pidana mati dipandang sebagai
pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. (http://www.solusihukum.com/kasus2.php)
Sementara Muladi membagi
teori-teori tentang tujuan pemidanaan menjadi 3 kelompok yakni :
1. Teori
absolut (retributif);
Teori absolut memandang
bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan
sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu
sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan
semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan
akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan
kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.
2. Teori
teleologis;
Teori teleologis (tujuan)
memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku
tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat
menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk
mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan,22 maka bukan bertujuan untuk pemuasan
absolut atas keadilan.
3. Teori retributifteleologis.
Teori retributif-teleologis
memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara
prinsip-prinsip teleologis (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori
ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh
pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang
salah. Sedangkan karakter teleologisnya terletak pada ide bahwa tujuan kritik
moraltersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di
kemudian hari. Pandangan teori ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk
mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa
fungsi sekaligus retribution yang bersifat utilitarian dimana
pencegahan dan sekaligus rehabilitasi yang kesemuanya dilihat sebagai sasaran
yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Karena tujuannya bersifat
integratif, maka perangkat tujuan pemidanaan adalah :
a) Pencegahan umum dan khusus;
b) Perlindungan masyarakat;
c) Memelihara solidaritas masyarakat;
d) Pengimbalan/pengimbangan. Mengenai tujuan,
maka yang merupakan titik berat sifatnya kasusistis.
Seseorang
pasti tidak akan luput dari kesalahan, demikian pula dengan seorang hakim,
dalam memeriksa suatu perkara yang mungkin juga dapat berbuat keliru. Sekarang yang menjadi masalah,
bagaimana seseorang telah dipidana mati, dan telah dieksekusi, dan kemudian
terjadi kekeliruan pengadilan (rechtelijke
dwaling). Dalam hal ini terpidana sudah tidak dapat direhabilitir lagi nama
baiknya, karena ia telah mati.
Pandangan
yang menentangkan adanya Euthanasia
yang mendasarkan dari segi religius, kiranya kurang seirama dengan pandangan
dari segi-segi hak manusia. Kita tahu bahwa di dalam Universal Declaratuion Of Human Rights dari PBB telah mencantumkan sejumlah hak asasi
manusia. Begitu pula didalam Undang-Undang Dasar 1945, walaupun tidak secara
terperinci seperti yang terdapat
dalam Deklarasi PBB itu. Diantara sekian banyak hak asasi manusia itu mungkin
hanya hak untuk mati yang tidak ada. Walaupun kedengarannya sangat ganjil, tetapi
hal ini cukup mengundang minat para ahli untuk memperbincangkannya, karena “hak
untuk mati” ini dipandang sebagai telah
tercakup pengertiannya di dalam “hak untuk hidup” yang selama ini dicantumkan
secara tegas.
Pandangan
yang menentang prinsip Euthanasia
diatas akan bebenturan argumentasinya, jika dihubungkan dengan pidana mati,
yang dijatuhkan oleh hakim. Sesuai dengan kodrat alamnya, seseorang tertuduh
yang divonis mati pada umumnya juga masih ingin mempertahankan hidupnya, atau
dengan perkataan lain ingin menggunakan “hak untuk hidup”-nya. Disadari atau
tidak, bahwa keritan hati kecilnya pasti
mengatakan keinginannya untuk tidak mati.(Djoko Prakoso, 1984 ; 85)
Dalam
hal ini dapat dikatakan bahwa hakim telah memaksa kematian seseorang yang
sebanarnya masih ingin hidup terus, sedangkan pidana mati bukanlah satu-satunya
jalanyang dapat ditempuh untuk mencapai salah satu tujuan daripada diadakannya
peradilan. Dalam euthanasia seorang pasien yang menghendaki kematian atas
dirinya sendiri, justru malah dilarang dan dihalang-halangi untuk mati. Pada
hal kematian yang memang diinginkan oleh pasien itu adalah merupakan
satu-satunya jalan untuk menghilangkan penderitaan yang tidak tertahankan lagi.
Pendek kata, orang yang masih hidup ingin hidup dipaksa untuk mati oleh hakim,
sedangkan orang yang karena keadaan yang
tidak dapat terelakkan lagi, ingin mati dipaksa untuk hidup terus, walaupun
penderitaan yang tiada menentu.
Selanjutnya
pandangan religius dari kelompok yang menentang prinsip euthanasia yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang dialami
manusia itu, sudah menjadi kehendak Tuhan, sebab hal ini mengandung makna dan
tujuan tertentu. Tetapi disamping itu, oleh Tuhan manusia juga diwajibkan berusaha untuk menghilangkan penderitaannya.
Dalam hal demikian ini, pengobatan untuk penyembuhan dan menghilangkan penderitaan sudah tidak mungkin lagi. Jalan satu-satunya
masih mungkin ialah, mengakhiri hidup si pasien tersebut, agar penderitaannya
itu dapat segera berakhir. Apabila kematian untuk menghilangkan penderitaan
memang diminta oleh pasien pada hal jalan lain untuk menghilangkan penderitaan
itu sudah tidak ada lagi. (Bachtiar Surin, 1978 : 19)
Hakim
yang juga manusia biasa dapat menentukan kematian seseorang, lewat pidana
matinya, dimana orang ini masih segar bugar yang sebenarnya orang tersebut
masih menginginkan untuk hidup, mengapa pasien yang juga sebagai manusia biasa
yang menderita sakit yang tak terhingga, tidak dapat menentukan kematian atas
dirinya sendiri. Bukankah kematian yang memang diminta pasien itu merupakan
satu-satunya jalan untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan dilain pihak, hakim
sebenarnya masih dapat menempuh jalan lain, tidak harus menjatuhkan pidana
mati.
Apabila
jalan pikiran seperti tersebut diatas itu diterima untuk menyetujui prinsip Euthansia, maka kehendak pasien untuk mati itu juga merupakan suatu
asasi. Oleh karena itu, apabila seorang dokter menolak permintaan mati
seseorang pasien yang sangat menderita, karena sakit yang tak dapat disembuhkan
lagi itu, merupakan suatu pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Pelanggaran semacam ini tidak bedanya tertuduh di depan pengadilan. Hanya saja
bedanya, bahwa dipengadilan seorang hakim telah merampas hak manusia untuk
hidup, sedangkan dalam euthanasia, seorang
manusia telah merampas hak manusia untuk mati.
Dasar
pemikiran seorang hakim adalah menjatuhkan pidana mati, biasanya didasarkan
demi kepentingan masyarakat, karena jika tertuduh dibiarkan begitu saja, akan
dapat membahayakan masyarakat dan keamanan negara. Akan tetapi hendaknya jangan
dilupakan, bahwa menyelamatkan kepentingan umum dan menyelamatkan keamanan
negara, bukanlah satu-satunya jalan dengan menajtuhkan pidana mati. Dengan kata
lain untuk menyelamatkan kepentingan masayarakat dan negara tidak harus dilakukan dengan jalan
menjatuhkan pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara selama waktu
tertentu, dan lain-lain. (http://id.wikipedia.org/wiki/Etanasia)
E.
“Euthanasia”, “Suicide” dan Ajaran Agama
Euthanasia
secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu
yang berarti “baik”, dan thanatos,
yang berarti “kematian”. Dalam bahasa Arab, Euthanasia dikenal dengan istilah qatl ar-rahma atau taysîr al-mawt. Menurut
istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan untuk meringankan kesakitan
atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal; juga berarti
mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat
menjelang kematiannya. (Hasan, 1995: 145).
Masalah
Euthanasia biasanya dikaitkan dengan
masalah suicide atau bunuh diri.
Dalam hukum pidana, masalah suicide
yang perlu dibahas adalah apakah seseorang yang mencoba bunuh diri atau
membantu orang lain untuk melakukan bunuh diri itu dapat dipidana, karena
dianggap telah melakukan suatu kejahatan.
Dilihat
dari segi agama, baik itu agama islam , Kristen, Katolik dan sebgainya maka euthanasia dan Suicide merupakan perbuatan yang terlarang. Sebab masalah
kehidupan dan kematian seseorang itu
adalah berasal dari pencipta-Nya, yaitu tuhan Yang Maha esa. Jadi
perbuatan-perbuatan yang menjurus kepada tindakan penghentian hidup yang bersal
dari Yang Maha Esa itu, merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak
Tuhan, oleh karenanya tidak dibenarkan. (Sinar Harapan, 1977 : 8)
Dalam
Hal ini agama Islam, yang secara mayoritas di anut oleh penduduk Indonesia ,
jelas melararang adanya euthanasia
dan suicide. Sehubungan dengan hal
ini, hadist Nabi Muhammad S.A.W yang diriwayatkan oleh Annas r.a sebagai berikut
: (Buletin Dawah No.38, 1979: 1)
“Bahwa rasullullah pernah
bersabda : janganlah tiap-tiap orang
dari kamu meminta-minta mati, karena kesuikaran yang menimpa. Jika
memamng sangat perlu ia berbuat demikian, maka ucapkanlah doa sebagai berikut :
Ya Allah! Panjangkanlah umurku, kalau memang hidup adalah lebih baik bagiku,
dan matikanlah aku manakala memang mati lebih baik bariku.”
Hadist
tersebut di atas, dinyatakan secara jelas bahwa Euthanasia” itu dilarang dalam ajaran Islam. Disamping itu banyak
sekali ayat-ayat suci Alquran dan
hadist-hadist Nabi yang yang melarang adanya suicide, karena kebosanan akan hidup, dan umumnya karena takut akan
tanggung jawab hidup.
Tindakan-tindakan
ini sangat diharamkan oleh ajaran agama Islam. Hal ini dapat dilihat dari ayat
Alquran, antara lain : (Al-Maliki, 1990: 113).
- Surat
An Nisa’ ayat 29 :
“Hai orang-orang yang beriman. Janganlah kamu
memakan harta sesamamu dengan jalan curang. Kecuali dengan cara perdagangan
yang berlaku dengan suka rela di antaramu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu.
Sesungguhnya Allah Maha Penyayang Kepadamu”
- Surat
Al an’aam ayat 151 :
! Marilah kubacakan apa-apa yang telah
diharamkan
“Katakanlah! Marilah kubacakan apa-apa yang
telah diharamkan Tuhan kepadamu, yakni : janganlah kamu mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun, berbaktilah kepada
kedua orang tuamu. Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin.
Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka juga. Janganlah kamu
mendekati perbuatan keji yang terang maupun yang tersembunyi. Dan janganlah
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya, kecuali karena
sebab-sebab yang dibenarkan oleh syarat. Begitulah yang diperintahkan Tuhan
kepadamu supaya kamu memikirkannya.
- Surat
Al A’raf ayat34 :
‘bagi tiap-tiap umat itu ada batas waktu
tertentu (ajal/mati), sebab itu bila datang waktunya itu, mereka tidak dapat
mengulurkan barang seketika dan tidak pula dapat mempercepatnya”.
Dari
ayat-ayat Alquran diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa agama islam melarang
orang untuk melakukan bunuh diri (Surat
An Nisa ayat (29) karena Tuhan adalah kasih dan sayang kepadanya. Larangan
keras seseorang membunuh orang lain,
karena takut akan kemiskinan dan kemelaratan (surat Al An’aam ayat (151)),
Sedangkan surat Al A’raf Ayat (34) mengajarkan bahwa masalah mati dan hidup manusia
itu ada di tangan Tuhan, sehingga manusia tidak dapat menentukannya.
Motif pembunuhan pada
umumnya karena katakutan akan penderitaan hidup atau kemiskinan, dan
selanjutnya karena bosan akan hidup. Semua tindakan kriminil yang berpangkal
pada ketakutan hidup, dicegah oleh Tuhan. Sangat terlarang dalam islam
melakukan “pembunuhan massal”, seperti yang terjadi di Amerika di kalangan
pengikut aliran sekte. Larangan bukan saja terhadap tindakan pembunuhan, bahkan
juga meminta mati saja dilarang keras oleh Islam. Seperti bunyi Hadist Nabi
diatas, karena adanya kesukaran hidup atau penderitaan hidup, lalu
meminta-minta atau mencita-citakan untuk mati, juga dilarang. Berputus asa
terhadap rahmat Tuhan, baik karena hebatnya penderitaan yang dialami, atau kemiskinannya
yang menimpa diri, atau karena penyakit yang bertahun-tahun tidak
sembuh-sembuh, atau dirundung malang
oleh berbagai persoalan yang tiada habisnya, lalu meminta amati atau m,encari
jalan kematian, semuanya itu diharamkan oleh ajaran agama Islam. Selanjutnya
apabila kita membaca surat lain, yaitu surat Al Maidah ayat (3), ditegaskan bahwa putus asa adalah sifat orang
kafir, tidak percaya pada Tuhan, surat Yusuf
ayat (87), juga melarang keras putus asa dari rahmat bantuan Tuhan dan
mengatakan sekali lagi bahwa sifat putus asa itu adalah tingkah laku
orang-orang kafir. (Bachtiar Surin, 1978 : 118).
Etanasia dalam ajaran Islam disebut qatl
ar-rahmah atau taisir al-maut (etanasia), yaitu suatu tindakan
memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena
kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara
positif maupun negatif.
Pada konferensi pertama tentang
kedokteran Islam di Kuwait
tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan
dilakukannya etanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy
killing) dalam alasan apapun juga.
Euthanasia
positif
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al
(etanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian si sakitkarena kasih saying
yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat).
Memudahkan proses kematian secara
aktif (etanasia positif) adalah tidak diperkenankan oleh syara'. Sebab dalam
tindakan ini seorang dokter melakukan suatu tindakan aktif dengan tujuan
membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis
dan ini termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang
membinasakan.
Perbuatan demikian itu adalah termasuk
dalam kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si
sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter
tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu
serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi
kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang
telah ditetapkan-Nya. (Bachtiar Surin, 1998 : 21)
Etanasia
negatif
Etanasia negatif disebut dengan taisir
al-maut al-munfa'il. Pada etanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat
atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya
dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal ini
didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada
gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah
(hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.
Diantara masalah yang
sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah bahwa mengobati atau berobat dari
penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha
dan imam-imam mazhab.
Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum
mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang
dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam
Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul
Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi (Bachtiar Surin, 1998 : 24)
F.
Euthanasia
Menurut Hukum Diberbagai Negara
Sejauh ini etanasia
diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta ditoleransi di negara bagian Oregon di Amerika, Kolombia dan
Swiss dan
dibeberapa negara dinyatakan sebagai kejahatan seperti di Spanyol, Jerman dan Denmark.
1.
Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda
menerbitkan undang-undang yang mengizinkan euthanasia, undang-undang ini
dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan
Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik etanasia.
Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak
untuk mengakhiri penderitaannya.
Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam
Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia
dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
Sebuah karangan berjudul "The
Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human Life
International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3
melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan etanasia
dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah
ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat
(tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50
pertanyaan.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara
hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan.
Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi
yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana
seorang dokter yang melakukan etanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan
dihukum. (http://www.solusihukum.com/kasus2.php)
2.
Amerika
Euthanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak
negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang
hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak
mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada
tahun 1997
melegalisasikan kemungkinan dilakukannya etanasia dengan memberlakukan UU
tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi
undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia.
Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18
tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan
akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga
kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di
antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu
saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus
mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa
pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan
mental.Hukum juga
mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut
tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa
maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang
Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat AS pun ada
usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama
dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi
terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.
Sebuah lembaga jajak
pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa
60% orang Amerika mendukung dilakukannya etanasia. (http://www.solusihukum.com/kasus2.php)
3.
Korea
Belum ada suatu aturan hukum yang
tegas yang mengatur tentang etanasia di Korea, namun telah
ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi)yang di Korea dikenal dengan "Kasus
rumah sakit Boramae" dimana dua orang dokter yang didakwa mengizinkan
dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang menderita sirosis hati (liver cirrhosis)
atas desakan keluarganya. Polisi kemudian menyerahkan berkas perkara tersebut
kepada jaksa penuntut dengan diberi catatan bahwa dokter tersebut seharusnya
dinayatakan tidak bersalah. Namun kasus ini tidak menunjukkan relevansi yang
nyata dengan mercy killing dalam arti kata etanasia aktif.
Pada akhirnya pengadilan memutuskan
bahwa " pada kasus tertentu dari penghentian penanganan medis (hospital
treatment) termasuk tindakan etanasia pasif, dapat diperkenankan apabila
pasien terminal meminta penghentian dari perawatan medis terhadap dirinya. (http://www.solusihukum.com/kasus2.php)
4.
Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka
etanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada
peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa ”Barang siapa
menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya
12 tahun”. Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340,
345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam
perbuatan etanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara
kita memang tidak mengizinkan tindakan etanasia oleh siapa pun.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal
Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5
Oktober 2004 menyatakan bahwa : Eutanasia atau
"pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima
dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai
dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih
berlaku yakni KUHP. (Simorangkir, 1979 : 29)
BAB
III
METODE PENELITIAN
A.
Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah normatif yaitu dengan menganlisis data yang mengacu pada
norma-norma hukum yang dituangkan dalam Peraturan Perundang-Undangan khususnya
yang berkaitan dengan judul yang penulis angkat.
B.
Metodologi
Pendekatan
Pendekatan-pendekatan yang digunakan
dalam penelitian hukum normatif adalah :
1.
Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach)
Pendekatan Undang-undang dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang berhubungan dengan judul
yang diteliti.
2.
Pendekatan Kasus (Case Approach)
Pendekatan kasus dilakukan terhadap
kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi yang telah menjadi
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in craht).
3.
Pendekatan Historis(Historical Approach)
Pendekatan historis dilakukan dengan
menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan
mengenai isu hokum yang dihadapi.Telaah demikian diperlukan oleh peneliti
manakala peneliti ingin mengungkap filosofis dan pola pikir yang melahirkan
sesuatu yang sedang dipelajari.
4.
Pendekatan Komparatif(Comparative Approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan
membandingkan undang-undang suatu Negara dengan undang-undang dari satu atau
lebih Negara lain mengenai hal yang sama.Dapat juga yang diperbandingkan
disamping undang-undang juga putusan pengadilan di beberapa Negara untuk kasus
yang sama.
5.
Pendekatan Konseptual(Conceptual Approach)
Pendekatan konseptual beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum
C. Jenis
dan Sumber Bahan-Bahan Hukum
a. Bahan-bahan
primer, adalah bahan hukum yang terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan
resmi atau risalah dalam pembuatan undang-undang dan putusan-putusan hakim.
b. Bahan-bahan
sekunder, adalah bahan hukum berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi.
D. Teknik
Pengumpulan Bahan-Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian
ini dilakukan dengan :
· Penelitian
Kepustakaan (Library Research)
Teknik ini bertujuan untuk mencari
konsepsi-konsepsi, teori-teori ataupun penemuan-penemuan yang berhubungan erat
dengan rumusan masalah.
E. Teknik
Analisis Bahan-Bahan Hukum
Tekhnik analisis bahan hukum yang
dipergunakan adalah preskriptif, dimana penulis memberikan suatu rumusan konsep
yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. “Euthanasia”, Kematian dan Hak untuk
Mati
Lain
di Pengadilan, lain pula dengan di dunia medis. Apabila di Pengadilan seorang
hakim dapat menentukan kematian seseorang dengan melalui pidana mati yang
dijatuhkannya, dalam dunia medis, seorang dokter bahkan diwajibkan senantiasa
melindungi makhluk hidup indani, sebagaimana ditetapkan dalam Kode Etik
Kedokteran Indonesia. Masalah “hak untuk mati” di dunia, terutama di
Negara-negara maju, masa kini sangat intensif dipermasalahkan. Seorang pasien
yang sudah tidak ada harapan untuk hidup lagi dari segi medis, kemudian diminta
oleh keluarganya supaya penderitaannya dihentikan saja oleh dokter, sering
terjadi di Negara-negara maju dewasa ini. Bahkan keluarga pasien yang sudah
tidak ada harapan lagi itu, mengajukan permintaan kepada Pengadilan atau
pejabat yang berwenang supaya memberikan legalisasi untuk mati.
Masalah
“hak untuk mati” atau the right to die
ini berhubungan erat dengan definisi daripada kematian. Hal ini timbul
sehubungan dengan adanya kenyataan bahwa profesi medis dewasa ini, sudah mampu
untuk menciptakan alat-alat ataupun mengambil tindakan-tindakan yang dapat memungkinkan seseorang yang
mengalami kerusakan otak (brain death),
tetapi jantungnya tetap hidup dan berdetak dengan bantuan sebuah “respirator”.
Di Negara-negara maju sudah banyak yang memberikan definisi tentang kematian,
tetapi definisi yang diajukan itu hanya bersifat khusus. Jadi sampai sekarang
belum ada yang memberikan definisi kematian secara umum, dan untuk segala
tujuan yang bersifat umum. Definisi khusus itu biasanya akibat kemajuan yang
telah dicapai dalam bidang medis, sehingga hanya merupakan salah satu kriteria
saja, dan terbatas untuk tujuan-tujuan operasi transplantasi organ tubuh (Anatomical Gifts).
Sebagai
suatu contoh dapat disebutkan definisi kematian yang telah diterima oleh The American Association tahun 1975,
yang menyatakan kematian adalah :
“for all legal purpose, a human body
with irreversible cassation of total brain function, accrding to medical
practice, shall be considered dead”.
Definisi
kematian ini diterima sebagai akibat dripada perkembangan ilmu kedokteran,
sehubungan dengan “organtransplants”, mencabut alat-alat untuk menopang
kehidupan seseorang dan menghentikan segala tindakan untuk menghidupkan
kembali.
Kebutuhan
kan definisi baru tentang kematian berkembang sebagai akibat langsung daripada meningkatnya kemampuan
profesi medis untuk mempertahankan kehidupan seseorang yang jantungnya terus
berdetak, tetapi otaknya tetap tidak berfungsi secara permanen, berhubung adanya
kerusakan yang parah. Sehubungan dengan persoalan ini, timbul bermacam-macam
pendapat, baik yang bersifat juridis moral maupun medis.
Sekarang
masalahnya, bagaiman dengan istilah kematian dalam ilmu hukum? Biasanya
definisi kematian yang dipakai di Pengadilan-pengadilan terhadap kasus-kasus
yang terjadi, baik di dalam maupun di luar negeri, menganggap bahwa apabila
masih bernapas, berarti belum dikatakan mati, apabila orang tersebut sudah
tidak bernapas lagi berarti orang tersebut telah mati. Memang banyak kasus yang
terjadi, misalnya pembunuhan, yang menyebabkan kematian, pada umumnya orang
yang dibunuh tersebut setelah tidak bernapas lagi, kemudian langsung dikubur
begitu saja. Dengan demikian proses selanjutnya di Pengadilan, hakim
mendefinisikan bahwa orang tersebut mati karena terbunuh, yang akhirnya
terdakwanya dikenakan sanksi sesuai dengan pasal yang mengatur tentang
pembunuhan itu. Kalau dipakai definisi demikian, dan dihubungkan dengan masalah
euthanasia, seseorang yang sudah
tidak bernapas, sedang otaknya masih merangsang, jadi belum dikatakan sebagai brain death. Apakah hal ini juga disebut
sebagai mati oleh pengadilan? Oleh karena itulah, perlu dirumuskan suatu
definisi tentang kematian yang bersifat umum, yang dapat menjangkau masalah
medis dan juga dalam berbagai kasus yang berhubungan dengan hukum, terutama
hukum pidana. Hal ini sangat penting artinya didalam menangani berbagai kasus
yang berhubungan dengan euthanasia,
yang selama ini belum juga dapat ditolerir di Negara-negara yang berkembang
terutama di Indonesia.
Walaupun
euthanasia ini merupakan perbuatan
yang terlarang dan diancam pidana seperti diatur Pasal 344 KUHP, namun
pencantuman larangan ini dirasakan kurang efisien, karena sampai sejauh ini
belum ada kasus yang sampai ke Pengadilan. Oleh sebab itu, untuk perkembangan
selanjutnya penulis ingin mengetengahkan
dua kemungkinan terhadap masalah euthanasia
dengan mengadakan peninjauan kembali
terhadap perumusan Pasal 344 KUHP, ataukah menyatakan bahwa perbuatan euthanasia itu sebagai perbuatan yang
tidak dilarang dengan mencantumkan syarat-syarat tertentu sehingga terjadilah
apa yang disebut sebagai “dekriminalisasi”. Apabila yang ditempuh adalah tetap
mempertahankan euthanasia dalam
segala bentuknya sebagai perbuatan yang terlarang, maka perumusan Pasal 344
KUHP perlu ditinjau kembali. Hal ini dimaksudkan agar memberikan kelonggaran
kepada penunutut umum agar lebih memudahkan di dalam mengadakan pembuktian
terhadap kasus yang terjadi.
Selama
ini mungkin saja euthanasia ini,
terjadi di Indonesia. Apakah dengan terjadinya euthnasia itu kemudian penuntut umum dapat membuktikannya? Sulit
rasanya hal ini dapat dipecahkan. Menurut pendapat dokter, memang Euthanasia di Indonesia ini belum pernah
terjadi. Tetapi dengan kemajuan dan perkembangan keadaan yang selalu meningkat
ini, tidak mustahil euthanasia ini
dilakukan secara diam-diam. Karena jelas para dokter di Indoneisa yang
terhimpun dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sesuai dengan Kode Etik
Kedokteran Indonesia, menganut bahwa paham hidup dan mati, tidak merupakan hak
daripada manusia, melainkan hak dari Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu, para
dokter di Indonesia, tidak menganut prinsip euthanasia,
sebab disamping masalah mati itu merupakan hak daripada Tuhan Yang Maha
Esa, juga melanggar sumpah Hipocrates yang
pernah diucapkan para dokter.
Kemungkinan
kedua adalah menyatakan bahwa euthanasia merupakan
perbuatan yang tidak terlarang, dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat
ini misalnya :
-
Bagi pasien yang sudah tidak dapat diharapkan
lagi akan kehidupannya menurut ukuran medis, yang dinyatakan oleh dokter yang
merawatnya,
-
Usaha penyembuhan yang dilakukan selama ini
sudah tidak berpotensi lagi,
-
Pasien dalam keadaan in a persistent vegetative state.
Bagi
pasien yang dalam keadaan seperti ini, sebaliknya euthanasia dapat dilakukan. Disamping syarat-syarat yang limitatif
tersebut, dapat ditambah lagi, misalnya dengan disertai permohonan tertulis
dari pasien dan keluarganya, dengan membubuhkan tandatangannya, dan pada surat
tersebut dibubuhi pula tandatangan dari para saksi-saksi. Dalam hal ini, euthanasia dapat dijalankan, dengan
menyatakan pelakunya mempunyai kekebalan terhadap pasien yang memenuhi
syarat-syarat tertentu tadi, dan tetap dilarang bila dilakukan terhadap
orang-orang yang masih sehat, dan memenuhi syarat-syaratnya. Ini dimaksudkan
dengan diperbolehkannya euthanasia,
agar tidak disalahkan penggunaannya. Apabila dokter merasa takut akan melanggar
sumpah Hipocrates yang pernah
diucapkannya, maka masih ada jalan yang masih dapat ditempuh yaitu dengan
memberikan tugas kepada mantri atau perawat yang lain, yang tidak pernah
mengucapkan sumpah dokter. Kiranya hal ini dapat dilakukannya, mengingat hanya
sekedar mencabut “respirator” atau alat-alat yang lain, yang digunakan untuk
memperpanjang hidup pasien yang tengah menderita dengan tiada akhir tersebut.
Dengan demikian “hak untuk mati” juga dihormati adanya, walaupun hak ini tidak
secara tegas dicantumkan sebagaimana “hak untuk hidup”. Dalam kondisi yang
demikian itu pula, seseorang yang
mempergunakan “hak untuk mati”nya. Jadi pengakuan terhadap “hak untuk mati” ini
tidak bersifat mutlak, tetapi dalam keadaan yang memaksakan untuk mengakuinya.
B. Euthanasia menurut Persepektif Hukum Pidana Indonesia
Tugas seorang dokter adalah untuk menolong jiwa seorang
pasien, padahal jika dilihat lagi hal itu sudah tidak bisa dilanjutkan lagi dan
jika hal itu diteruskan maka kadang akan menambah penderitaan seorang pasien,
penghentian pertolongan tersebut merupakan salah satu bentuk euthanasia.
Bardasarkan pada cara
terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian kedalam tiga jenis:
1. Orthothansia, merupakan kematian yang
terjadi karena proses alamiah,
2. Dysthanasia, adalah kematian yang
terjadi secara tidak wajar,
3. Euthanasia, adalah kematian yang terjadi
dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter.
Pengertian euthanasia ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan
sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan
penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif, dan biasanya
tindakan ini dilakukan oleh kalangan medis. Sehingga dengan hal demikian akan
muncul yang namanya euthanasia
positif dan euthanasia negatif dan
berikut adalah contoh-contoh tersebut;
a). Seseorang
yang sedang menderita kangker ganas atau sakit yang mematikan, yang sebenarnya
dokter sudah tahu bahwa seseorang tersebut tidak akan hidup lama lagi. Kemudian
dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat
menghilangkan rasa sakitnya, tetapi justru menghentikan pernapasannya
sekaligus.
b). Seperti yang dialami oleh Nyonya Again (istri
hasan) yang mengalami koma selama tiga bulan dan dalam hidupnya membutuhkan
alat bantu pernafasan. Sehingga dia akan bisa melakukan pernafasan dengan
otomatis dengan bantuan alat pernafasan. Dan jika alat pernafasan tersebut di
cabut otomatis jantungnya akan behenti memompakan darahnya keseluruh tubuh,
maka tanpa alat tersebut pasien tidak akan bisa hidup. Namun, ada yang
menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai "orang mati" yang
tidak mampu melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat pernapasan itu
sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya.
Hal tersebut adalah contoh
dari yang namanya euthanasia positif
yang dilakukan secara aktif oleh medis.
Berbeda dengan euthanasia negatif yang dalam proses
tersebut tidak dilakukan tindakan secara aktif (medis bersikap pasif) oleh
seorang medis dan contohnya sebagai berikut;
a). Penderita kanker yang sudah kritis, orang
sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada bagian kepalanya
atau terkena semacam penyakit pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh
atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati
(padahal masih ada kemungkinan untuk diobati) akan dapat mematikan penderita.
Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat
kematiannya.
b). Seorang
anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita kelumpuhan tulang belakang
atau kelumpuhan otak. Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan (tanpa
diberi pengobatan) apabila terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit
otak, yang mungkin akan dapat membawa kematian anak tersebut.
Dari contoh tersebut,
"penghentian pengobatan" merupakan salah satu bentuk eutanasia negatif. Menurut gambaran
umum, anak-anak yang menderita penyakit seperti itu tidak berumur panjang, maka
menghentikan pengobatan dan mempermudah kematian secara pasif (eutanasia negatif) itu mencegah
perpanjangan penderitaan si anak yang sakit atau kedua orang tuanya.
Dalam KODEKI Pasal 2 dijelaskan bahwa;
“seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan
standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan
kegiatan kedokterannya sebagai seorang profesi dokter harus sesuai dengan ilmu
kedokteran mutakhir, hukum dan agama.
KODEKI Pasal 7d juga menjelaskan bahwa
“setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
insani”. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara
kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam menjalankan prifesinya seorang
dokter tidak boleh melakukan; Menggugurkan kandungan (Abortus Provocatus), mengakhiri kehidupan seorang pasien yang
menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).
Mengenai euthanasia, dapat digunakan dalam tiga arti ;
a). Berpindahnya
ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan
nama Allah di bibir.
b). Waktu
hidup akan berakhir (sakaratul maut) penderitaan pasien diperingan dengan
memberikan obat penenang
c). Mengakhiri penderitaan dari
seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Adapun unsur-unsur dalam pengertian euthanasia dalam pengertian diatas
adalah:
a).
Berbuat sesauatu atau tidak
berbuat sesuatu,
b). Mengakhiri
hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien,
c). Pasien
menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan,
d). Atas
permintaan pasien dan keluarganya,
e). Demi
kepentingan pasien dan keluarganya.
1. Euthanasia dalam perspektif Hukum Pidana
Melihat penderitaan istrinya yang
tidak kunjung berakhir, Panca Satrya Hasan Kusuma memohon agar istrinya (Agian
Isna Nauli) yang sudah koma sekitar tiga bulan setelah melahirkan putra
keduanya, disuntik mati saja. Ini merupakan perubahan dalam dinamika masyarakat
yang kian mengglobal yang ditandai semakin mudahnya masyarakat mengakses
informasi dari berbagai belahan dunia maka semakin sering masyarakat
bersentuhan dengan nilai-nilai asing (di luar kebiasaan/norma-norma komunitasnya).
Namun perubahan paradigma berfikir
masyarakat bukanlah sebagai arah sebuah kemajuan berfikir, naamun cuma
kebingungan dalam berfikir. Hal ini dialami oleh Hasan yang mengajukan euthanasia terhadap istrinya dan hal
yang sama juga terjadi pada Siti Zulaekha yang akan diajukan euthanasia oleh keluarganya.
2.
Konsepsi Euthanasia
Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai “kematian yang lembut
dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan
tak tersembuhkan”. Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan
ini adalah mercy killing (Tongat,
2003 :44). Sementara itu menurut Kamus Kedokteran Dorland euthanasia mengandung dua pengertian. Pertama, suatu
kematian yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan dengan kemurahan
hati, pengakhiran kehidupan seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat
disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hati-hati dan disengaja.
Secara konseptual dikenal
tiga bentuk euthanasia, yaitu voluntary euthanasia (euthanasia yang dilakukan atas
permintaan pasien itu sendiri karena penyakitnya tidak dapat disembuhkan dan
dia tidak sanggup menahan rasa sakit yang diakibatkannya); non voluntary euthanasia (di sini orang lain, bukan pasien,
mengandaikan, bahwa euthanasia adalah pilihan yang akan diambil oleh pasien
yang berada dalam keadaan tidak sadar tersebut jika si pasien dapat menyatakan
permintaannya); involuntary euthanasia
(merupakan pengakhiran kehidupan pada pasien tanpa persetujuannya).
3.
Konstruksi Yuridis Euthanasia
Munculnya pro dan kontra seputar
persoalan euthanasia menjadi beban
tersendiri bagi komunitas hukum. Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah
persoalan euthanasia akan bermuara.
Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif memberikan
regulasi/pengaturan terhadap persoalan euthanasia
akan sangat membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut.
Lebih-lebih di tengah kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra
tentang legalitasnya.Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam
hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri
(voluntary euthanasia) sebagaimana
secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas
menyatakan :
“Barang siapa merampas nyawa orang
lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan
hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP
tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap
diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai
perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia ,
tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas
permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai
tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang
melanggar larangan tersebut.
Mengacu pada ketentuan tersebut di
atas, maka munculnya kasus permintaan tindakan medis untuk mengakhiri kehidupan
yang muncul akhir-akhir ini (kasus Hasan Kesuma yang mengajukan suntik mati
untuk istrinya, Ny. Agian dan terakhir kasus Rudi Hartono yang mengajukan hal
yang sama untuk istrinya, Siti Zuleha) perlu dicermati secara hukum. Kedua
kasus ini secara konseptual dikualifikasi sebagai non voluntary euthanasia, tetapi secara yuridis formal (dalam KUHP)
dua kasus ini tidak bisa dikualifikasi sebagai euthanasia sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP. Secara yuridis
formal kualifikasi (yang paling mungkin) untuk kedua kasus ini adalah
pembunuhan biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP, atau pembunuhan
berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 338
KUHP secara tegas dinyatakan, “ Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain
diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Sementara dalam ketentuan
Pasal 340 KUHP dinyatakan :
“ Barang siapa dengan sengaja dan
dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan
berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama
waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.
Di luar dua ketentuan di
atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356
(3) KUHP yang juga mengancam terhadap “Penganiayaan yang dilakukan dengan
memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau
diminum”.
Selain itu patut juga diperhatikan
adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 (2). Dalam
ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan :
“Barang siapa dengan sengaja
menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut
hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan
kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus
rupiah”.
Sementara dalam ketentuan Pasal 306
(2) KUHP dinyatakan :
“Jika mengakibatkan kematian,
perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”.
Dua ketentuan terakhir
tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum positif di
Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebagai
tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di
Indonesia.
Euthanasia di Negara lain Fenomena euthanasia ini berkembang lagi ketika kasus Nyonya Agian
mencuat di permukaan ketika suaminya (Hasan) meminta DPRD Bogor untuk
mengagalkan keinginannya untuk meng-euthanasia
istrinya tersebut. Banyak orang yang menentang apa yang dilakukan Hasan pada
istrinya tersebut, dengan alasan bahwa euthanasia
itu bertentangan dengan nilai-nilai etika, moral karena termasuk perbuatan yang
merendahkan martabat manusia dan perbuatannya tergolong pembunuhan, mengingat
kematian menjadi tujuan.
Sebuah karangan berjudul
"The Slippery Slope of Dutch
Euthanasia" dalam majalah Human
Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3
melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan
melakukan euthanasia dan tidak akan
dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah
ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat
(tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50
pertanyaan.
Kiranya persoalan euthanasia, meskipun pelaksanaannya
tidak harus dan tidak selalu dengan suntikan, merupakan sebuah persoalan
dilematis. Selain hukum, praktik euthanasia
tentu saja berbenturan dengan nilai-nilai etika dan moral yang menjunjung
tinggi harkat dan martabat kehidupan manusia. Adanya indikasi-indikasi baik
medis maupun ekonomis tidak secara otomatis melegitimasi praktik eutanasia mengingat eutanasia berhadapan dengan faham nilai menyangkut hak dan
kewajiban menghormati dan membela kehidupan.
Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan
Amerika tindakan euthanasia mendapatkan
tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara
Jepang. Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia
harus melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan.
Didalam KUHP Austria Pasal 139 a
berbunyi ;
“Seseorang yang membunuh orang lain atas permintaan yang
jelas dan sungguh- sungguh terhadap korban dianggap bersalah melakukan delik
berat pembunuhan manusia atas permintaan akan dipidana dengan pidana penjara
berat dari lima sampai sepuluh tahun”.
Sebagai bahan
perbandingan. Ternyata di negara inipun melarang adanya euthanasia Prosedur pengajuan Euthanasia
di Indonesia Di Indonesia masalah
euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang diakui secara yuridis dan
mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis.
Kasus yang terakhir yang pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Again ke Pengadilan Negeri Jakarta, belum
dikabulkan. Dan akhirnya korban yang mengalami koma dan ganguan permanen pada
otaknya sempat dimintakan untuk dilakukan euthanasia,
dan sebelum permohonan dikabulkan korban sembuh dari komanya dan dinyatakan
sehat oleh dokter.
Kasus di atas kita bisa
menangkap prosedur yang harus dilakukan oleh pemohon euthanasia, bahkan hal ini sangat berbeda dengan yang dilakukan di
Negara lain yang prosedurnya sangat ketat dan rapi. Sehingga orang akan
berfikir untuk melakukan euthanasia.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Prinsip-prinsip
euthanasia dalam segala perspektif hukum
di Indonesia adalah perbuatan yang dilarang, dalam hukum pidana yang berlaku di
Indonesia pengaturan masalah euthanasia terdapat di dalam Pasal 304 KUHP yang
melarang adanya euthanasia pasif,dan di dalam Pasal 344 KUHP yang melarang
adanya euthanasia aktif. Sehingga euthanasia adalah perbuatan yang belum bisa
diterapkan atau belum dilegalkan karena bertentangan dengan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), meskipun penerapan pasal ini dirasakan sangat sulit dalam
hal pembuktiannya.
B. SARAN
·
Secara garis besar, hak-hak asasi manusia,
sebagaimana tercantum dalam Universal
Declaration of human Rights telah tercakup prinsip-prinsip pokoknya di
dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan
berbagai Perundang-undangan Republik Indonesia lainnya yang merupakan hukum
positif. Namun hak-hak asasi manusia tersebut saat ini baru merupakan moral rights dan belum merupakan positive rights, yang dapat dituntut
ketaatannya baik di dalam maupun di luar Pengadilan. Hal ini disebabkan karena
kebanyakan belum terdapat undang-undang pelaksanaannya. Oleh karena itu, kami
menghimbau kepada wakil-wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat, agar segera
membikin undang-undang yang dimaksudkan itu. Dengan demikian baik dalam
undang-undang maupun dalam praktek hukum sehari-hari Indonesia benar-benar
adalah Negara Hukum yang menghormati hak-hak asasi manusia.
·
Indonesia tidak menganut prinsip euthanasia, yang berarti pula tidak
mengakuinya the right to die dari
seseorang pasien. Hal ini didasarkan atas alasan religious, bahwa masalah mati
ini adalah kekuasaan mutlak dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Jadi Indonesia hanya
mengakui adanya the right to life
saja, yang sesuai pula dengan prinsip etik kedokteran Indonesia, yang selalu
menghormati setiap hidup insane mulai dari saat terjadinya pembuahan. Dalam hal
ini berarti bahwa bagaimanapun gawatnya sakit seseorang pasien, dan walaupun
dengan menanggung penderitaan yang tiada akhir, dokter harus melindungi dan
mempertahankan hidup pasien tersebut. Hal ini menunjukkan betapa besar
penghormatan dari Negara terhadap nyawa seseorang warga negaranya. Sehubungan
dengan hal ini, sebaiknya pidana mati yang masih ada di Indonesia di hapuskan
saja, sebab jika Pengadilan atau
negaranya, berarti pula bahwa Negara telah mencabut nyawa seseorang, yang tidak
ditentukan oleh Tuhan. Di samping itu bahwa pidana mati dirasakan telah
melanggar the right to life dari
warga Negara, yang selama ini sangat dihormati oleh Negara, baik nasional
maupun internasional.
·
Seandainya pidana mati tetap untuk
dipertahankan di Indonesia, sebaiknya antara Pengadilan dan dunia kedokteran
supaya agak disejajarkan, walaupun tidak secara mutlak. Selama ini boleh
dibilang sangat bertolak belakang, sebab Pengadilan dapat menentukan matinya seseorang lewat pidana matinya,
sebaliknya dokter yang melihat pasiennya
yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya lagi, dlam keadaan menderita yang
tiada menentu, walaupun telah diminta
olehnya sendiri ataupun keluarga pasien agar supaya hidupnya diakhiri saja,
tetapi oleh Negara dilarang. Oleh sebab itu, sebaiknya dalam keadaan yang
demikian itu hendaknya dapat diakuinya the
right to die dari seseorang pasien, walaupun pengakuan ini tidak secara
mutlak, hanya dalam keadaan tertentu saja. Dengan demikian, maka dalam keadaan
yang dimaksudkan tadi, prinsip euthanasia
juga diperbolehkan untuk dilaksanakan. Oleh karenanya, dokter yang melakukan euthanasia tersebut mempunyai kekebalan
terhadap civil liability maupun criminal liability.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar