BAB I
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP
A.Pengertian
Sosiologi Hukum
S
|
osiologi hukum
diperlukan dan bukan merupakan penamaan yang baru bagi suatu ilmu pengetahuan
yang telah lama ada. Memang, baik ilmu hukum maupun sosiologi hukum mempunyai
pusat perhatian yang sama yaitu hukum; akan tetapi sudut pandang ke dua ilmu
pengetahuan tadi juga berbeda, dan oleh karena itu hasil yang diperoleh ke dua
ilmu pengetahuan tadi juga berbeda. Hukum adalah suatu gejala sosial budaya
yang berfungsi untuk menerapkan kaidah-kaidah dan pola-pola perikelakuan
tertentu terhadap individu-individu dalam masyarakat. Ilmu hukum mempelajari
gejala-gejala tersebut serta menerangkan arti dan maksud kaidah-kaidah
tersebut, oleh karena kaidah-kaidah tadi seringkali tidak jelas. Pelbagai
kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat harus digolong-golongkan ke
dalam suatu klasifikasi yang sistematis, dan ini juga merupakan salah satu
tugas dari ilmu hukum.
Untuk memberikan
pengertian Sosiologi Hukum, penulis mengemukakan pendapat beberapa pakar sebagai
berikut :
1. Soerjono Soekanto
Sosiologi
Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris
menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan
gejala-gejala sosial lainnya. (Masyarakat Sebagai sistem sosial.)
2. Satjipto Rahardjo
Sosiologi
Hukum adalah pengetahuan hukum terhadap pola perilaku masyarakat dalam konteks
sosialnya
3. R. Otje Salman
Sosiologi
Hukum adalah Ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan
gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis
Berdasarkan pengertian
di atas, penulis berpendapat bahwa segala
aktivitas sosial manusia yang dilihat dari aspek hukumnya disebut sosiologi
hukum
B.Latar
Belakang Lahirnya Sosiologi Hukum
Orang yang pertama menggunakan
istilah sosiologi hukum adalah Anzilotti
pada tahun 1882. Latar
belakang lahirnya Sosiologi Hukum dipengaruhi oleh
disiplin ilmu: filsafat hukum, ilmu hukum, dan sosiologi yang kajiannya berorientasi
pada hukum.
1.Filsafat
Hukum
Aliran filsafat hukum yang mendorong
lahirnya Sosiologi Hukum adalah:
- Mazhab Sejarah (dipelopori Carl von Savigny): Hukum itu tidak dibuat, akan tetapi tumbuh
dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat (volksgeist).
- Aliran Utility
(Jeremy Bentham): hukum itu harus bermanfaat bagi masyarakat guna
mencapai hidup bahagia.
- Aliran Sociological
Jurisprudence (Eugen Ehrlich):
hukum yang dibuat harus sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat
(living law).
- Aliran Pragmatic
Legal Realism (Roscoe Pound): law as a tool of social engineering
2.Ilmu
Hukum
Kajian ilmu hukum yang menganggap
bahwa “Hukum sebagai gejala sosial”, dan bukan sebagai gejala normatif
3.Sosiologi
(yang berorientasi pada hukum)
Para Sosiolog yang berorientasi pada
hukum antara lain adalah sebagai berikut:
a.
Emile Durkheim
-
Solidaritas mekanis (ciri masyarakat Sederhana)
*
Sifat Hukum: Represif (diasosiasikan
seperti dalam hukum pidana)
-
Solidaritas organis (ciri Masyarakat Modern)
* Sifat Hukum:
Restitutif (seperti dalam hukum perdata)
b.
Max Weber
Otoritas didasarkan
pada ilmu hukum itu sendiri (Tradisional, kharismatik, legal/formal)
C.Ruang
Lingkup Sosiologi Hukum
Ruang lingkup dari
sosiologi hukum ada dua hal :
1) Dasar-dasar sosial dari hukum atau basis sosial dari
hukum. Sebagai
contoh misalnya: Hukum Nasional di
Indonesia dasar sosialnya adalah Pancasila, dengan ciri-ciri: gotong royong,
musyawarah, dan kekeluargaan.
2) Efek-efek hukum terhadap gejala-gejala sosial lainnya.
-UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
terhadap kehidupan rumah tangga
-UU No.42 tahun 2009 mengenai Pilpres secara langsung terhadap gejala politik.
-UU
No.19 /2002 tentang Hak Cipta terhadap gejala budaya
Kegunaan Sosiologi Hukum
- Memahami hukum dalam konteks sosialnya, Contoh; Hukum Waris;
- Menganalisa dan konstruksi terhadap efektifitas hukum
dalam masyarakat, baik sebagai sarana pengendalian sosial maupun sebagai
sarana untuk merubah masyarakat , Contoh. Pungutan resmi menjadi pungli
- Mengadakan evaluasi terhadap efektifitas hukum di dalam
masyarakat, berkaitan dengan wibawa hukum
Objek yang disoroti Sosiologi Hukum
- Hukum dan sistem sosial masyarakat
- Persamaan dan perbedaan sistem-sistem hukum
- Sifat sistem hukum yang dualistis
- Hukum dan kekuasaan
- Hukum dan nilai-nilai sosial budaya
- Kepastian hukum dan kesebandingan
- Peranan hukum sebgai alat untuk merubah masyarakat
Berdasarkan
objek yang disoroti tersebut maka dapat dikatakan bahwa: sosiologi hukum adalah
ilmu pengetahuan yang secara teoritis analitis dan empiris menyoroti pengaruh
gejala sosial lain terhadap hukum dan sebaliknya
D.Karakteristik
Kajian Sosiologi Hukum
- Sosiologi
hukum berusaha untuk memberikan Deksripsi
Berusaha memberikan deskripsi terhadap praktek-praktek hukum
- Sosiologi
hukum bertujuan memberikan Penjelasan
Menjelaskan mengapa suatu
praktek-praktek hukum di dalam kehidupan sosial masyarakat terjadi,
sebab-sebabnya, faktor-faktor apa yang berpengaruh.
- Sosiologi
hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum
Menyelidiki tingkah laku
orang dalam bidang hukum sehingga mampu mengungkapkannya. Tingkah laku yang
dimaksud mempunyai dua segi, yaitu “luar” dan “dalam”. Sosiologi hukum tidak hanya menerima tingkah
laku yang tampak dari luar saja, melainkan ingin juga memperoleh penjelasan
yang bersifat internal, yaitu meliputi motif-motif tingkah laku seseorang
(paradigma definisi sosial)
- Sosiologi
hukum melakukan Prediksi
terhadap hukum
Menguji kesahihan empiris
dari suatu peraturan atau pernyataan hukum, sehingga mampu memprediksi sesuatu
hukum yang sesuai dan/atau tidak sesuai dengan masyarakat tertentu.
Menurut Prof. Satjipto Rahardjo, ada 3 karakteristik sosiologi hukum
sebagai ilmu :
1. Bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap
praktek-praktek hukum.
2. Menguji empirical validity dari peraturan/pernyataan dan
hukum.
3. Tidak melakukan penilaian terhadap perilaku hukum sebagai
law is in the book yang berlawanan dengan law in society
Contoh : Lampu
kuning, harusnya pelan, siap-siap berhenti, tapi dalam kenyataannya malah tancap
gas.
Paradigma di
Indonesia bahwa polisi, hakim, jaksa
sebagai hukum.
Contoh : Lampu
merah di perempatan, tidak ada polisi, pengemudi terus jalan.
Semua orang
dianggap tahu Undang-undang, sehingga bagi yang belum tahu tidak ada alasan
pemaaf.
UU basisnya adalah
nilai yuridis, sosiologis, filosofis.
UU harus sesuai
realistik sosial masyarakat.
ad. 2 contohnya
terhadap putusan pengadilan, pernyataan notaris dan seterusnya apakah sesuai
dengan realitas empirisnya?
ad. 3. Semua
perilaku hukum dikaji dalam nilai yang sama tanpa melihat apakah itu benar,
karena sosiologi hukum sesungguhnya adalah seinwissenschaaft
( ilmu tentang kenyataan). Jadi orang-orang sosiologi hukum tidak boleh
apriori, contoh : pelaku pidana tidak bisa dimaknai orang yang selalu jahat.
Kata kuncinya adalah Sosiologi hukum sebagai ilmu yang Deskriptif bukan Preskriptif.
BAB II
METODE PENDEKATAN DAN FUNGSI SOSIOLOGI HUKUM
A.Metode
Pendekatan Sosiologi Hukum
P
|
engkajian hukum positif masih mendominasi pengajaran
studi hukum pada fakultas hukum di Indonesia saat ini.hal itu tidak
mengherankan bila dipahami bahwa masyarakat yang mendiami Negara Republik
Indonesia masih mengharapkan fakultas yang dimaksud menghasilkan
sarjana-sarjana yang mempunyai keterampilan untuk mengkaji problema-problema hukum.
Ada dua pendekatan dalam kajian hukum yaitu sebagai berikut:
-
Yuridis
Normatif
Bertujuan menguasai hukumnya bagi
sesuatu persoalan tertentu yang terjadi serta bagaimana melaksanakan atau
menerapkan peraturan-peraturan hukum (mengkaji “bagaimana seharusnya”)
-
Yuridis
Empiris
Mempelajari fenomena sosial dalam masyarakat
yang tampak aspek hukumnya (mengkaji “bagaimana kenyataannya”)
Sosiologi Hukum menggunakan pendekatan Yuridis Empiris
·
Hukum
dalam kenyataannya di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan
·
Yang
dimaksudkan: bukan kenyataan dari bentuk pasal-pasal dalam perundang-undangan,
melainkan sebagaimana hukum itu dioperasikan oleh masyarakat dalam kehidupan
sehari-harinya
·
Pendekatan
ini, harus keluar dari batas-batas peraturan hukum dan mengamati
praktek-praktek dan/atau hukum sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang di
dalam masyarakat.
B.Perbandingan
Yuridis Empiris Dengan Yuridis Normatif
PERBANDINGAN
|
YURIDIS EMPIRIS
|
YURIDIS NORMATIF
|
OBJEK
|
Sociological model
|
Jurisprudence model
|
FOKUS
|
Social strcture
|
Analisis aturan (rules)
|
PROSES
|
Perilaku (behaviour)
|
Logika
|
PILIHAN
|
Ilmu pengetahuan
|
Praktis
|
TUJUAN
|
Penjelasan
|
Pengambilan keputusan
|
Tabel 1.
Studi
perbandingan yuridis empiris dengan yuridis normatif
Tabel di atas menunjukkan objek kajian sosiologi
hukum,dalam hal itu akan diuraikan tiga buah konsep sebagai berikut :
1)
Sociological Model(Model Kemasyarakatan)
·
Bentuk-bentuk
interaksi sosial yang terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat, yang antara
lain melahirkan sistem sosial dan perubahan sosial
·
Interaksi
sosial; hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan
orang-perorang, kelompok-kelompok manusia maupun antara orang-perorang dengan
kelompok manusia
·
Sistem
sosial; sejumlah orang/kegiatan yang hubungan timbal baliknya kurang lebih
bersifat konstan
·
Perubahan
sosial; suatu proses di mana dalam suatu sistem sosial terdapat
perbedaan-perbedaan yang dapat diukur yang terjadi pada kurun waktu tertentu
2) Struktur Sosial
·
Jalinan
yang secara relatif tetap antara unsur-unsur sosial
·
Unsur-unsur
sosial yang pokok: kaidah sosial, lembaga sosial, kelompok sosial, stratifikasi
sosial
·
Lembaga
sosial; himpunan kaidah dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu
kebutuhan pokok manusia dalam hidup bermasyarakat. Hukum sebagai salah satu
lembaga kemasyarakatan bertujuan serta bertugas memenuhi kebutuhan pokok
manusia dalam mewujudkan ketertiban.
·
Kelompok
sosial; kesatuan manusia yang hidup bersama dari adanya hubungan diantara
mereka. Hukum diperlukan ketika terjadi interaksi sosial diantara sesama
manusia (jual-beli, sewa-menyewa, utang-piutang)
3) Perilaku
·
Manusia
sebagai aktor yang melakukan sesuatu
·
Sebagai
aktor, tidak terlepas dari status dan perannya dalam sistem sosial
C.Hukum
Sebagai Social
Control
Sosial Kontrol
dilakukan untuk menjamin bahwa nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku
ditaati oleh anggota masyarakat. Hal ini menyangkut manusia sebagai makhluk
sosial yang hidup bersama dalam kelompok atau masyarakat. Dalam pergaulan
sehari-hari, perilaku manusia selalu diatur oleh nilai dan norma sosial yang
memberi batas pada kelakuannya. Tujuan pengaturan itu dimaksudkan agar tindakan
yang dilakukan seseorang atau suatu kelompok tidak merugikan pihak lain.
Pelanggaran terhadap nilai dan norma sosial yang berlaku akan menimbulkan
pertentangan-pertentangan antara berbagai kepentingan dari bermacam-macam
pihak, sehingga terjadi guncangan di dalam masyarakat.Dalam kehidupan
bermasyarakat, kontrol sosial berfungsi untuk menciptakan suatu tatanan
masyarakat yang teratur dan sesuai dengan norma-norma yang telah disepakati
bersama.
Merupakan
aspek yuridis normatif dari kehidupan sosial masyarakat Sebagai
alat pengendali sosial hukum dianggap berfungsi untuk menetapkan tingkah laku
yang baik dan tidak baik dan sanksi hukum terhadap pelanggarnya.
·
Social
control; suatu proses baik yg direncanakan maupun tidak, yang bersifat
mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi sistem
kaidah dan nilai yang berlaku
·
Sifat:
preventif dan Represif
Preventif; pencegahan terhadap terjadinya gangguan-gangguan kestabilan
Represif:; berusaha mengembalikan keserasian yang pernah mengalami gangguan
D.Hukum
Sebagai Alat Mengubah Masyarakat
Fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial yang semakin penting dalam
era pembangunan tersebut, ditegaskan oleh Muchtar Kusumaatmadja seperti yang
dikutip oleh Soleman B. Taneko (1993: 36) mengemukakan bahwa "Di Indonesia
fungsi hukum di dalam pembangunan adalah sebagai sarana pembangunan masyarakat.
Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa adanya ketertiban dalam pembangunan
merupakan suatu yang dianggap penting dan sangat diperlukan. Di samping itu,
hukum sebagai tata kaidah dapat berfungsi untuk menyalurkan arah-arah kegiatan
warga masyarakat ke tujuan yang dikehendaki oleh perubahan tersebut. Sudah
tentu bahwa fungsi hukum di atas seyogianya dilakukan, di samping fungsi hukum
sebagai sistem pengendalian sosial".
Ini berarti bahwa disamping fungsi hukum sebagai alat pengendalian
sosial, juga salah satu fungsi lainnya yang sangat penting dan bahkan justru
harus dilaksanakan dalam era pembangunan, adalah fungsinya sebagai alat
rekayasa sosial. Tentu saja sebagai alat rekayasa harus diarahkan kepada
hal-hal yang positif dan bukan sebaliknya.
Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan sosial, hanya prosesnya ada
yang cepat, ada yang lambat.
Contoh: Orang Asmat
beda dengan orang-orang kota.
Perubahan yang
terlalu cepat, sehingga kadang hukum sulit untuk mengikutinya.
Robert Sutterland, 4 Faktor yang menyebabkan “Social Change”:
·
Karena
ada proses inovation/ pembaruan.
·
Invention :
penemuan teknologi di bidang industri, mesin dst.
·
Adaptation :
adaptasi yaitu suatu proses meniru suatu cultur, gaya yang ada di masyarakat
lain.
·
Adopsim:
ikut dalam penggunaan penemuan teknologi.
Perubahan sosial adalah perubahan yang bersifat fundamental, mendasar,
menyangkut perubahan nilai sosial, pola perilaku, juga menyangkut perubahan
institusi sosial, interaksi sosial, norma-norma sosial.
-Hubungan antara Social Change dengan hukum:
hukum harus mengikuti perubahan sosial.
Hukum Social Change hukum akan merespon perubahan sosial jika ada sosial change, masalahnya hampir sebagian hukum tidak selalu bisa mengikuti perubahan sosial.
Efektivitas hukum
sebagai tertib sosial : hukum untuk sosial control.
Pengendalian Sosial, menurut S. Rouck, yaitu suatu proses/ kegiatan baik
yang bersifat terencana atau tidak yang mempunyai tujuan untuk mendidik (edukatif), mengajak (persuasif), memaksa (represif), agar perilaku masyarakat sesuai dengan kaidah yang
berlaku ( konform), sehingga hukum
sebagai Agent of Stability ( hukum sbg penjaga
stabilitas). Pada suatu ketika hukumada di belakang ( tertinggal).
Adanya perubahan sosial yang cepat tapi hukumnya belum bisa mengikuti
disebut hukum sebagai Social Lag
yaitu hukum tak mampu melayani kebutuhan sosial masyarakat, atau disebut juga
disorganisasi, aturan lama sudah pudar tapi aturan pengganti belum ada.
-Anomie yaitu suatu kondisi di mana
individu atau masyarakat tidak bisa mengukur apakah suatu perubahan dilarang
atau tidak, malanggar hukum atau tidak sehingga masyarakat merasa tidak
mempunyai pegangan.
-Hukum sebagai
pelopor perubahan “ Agent of Change”
Setiap perubahan
sosial menuntut perubahan hukum palin tidak ada dua institusi:
a)
Lembaga
Pembentuk Hukum.
b)
Lembaga
Pelaksana Hukum.
Perubahan hukum
tidak harus dimaknai perubahan Undang-Undang atau bunyi pasal.
Hukum Modern:
Hukum tidak hanya merespon perubahan sosial yang terjadi
tapi juga merespon hukum masa depan ( futuristik).
Common Law :
hukum sebagai Judge Made Law.
Civil Law :
yang melakukan perubahan hukum adalah Legislatif.
Lembaga Legislatif
lebih berperan sebagai politik daripada eksekutif.
Contoh Pasal 534
KUHP : mematikan penegak hukum : secara normatif ada aturannya tapi prakteknya
tidak berfungsi : dilarang mempertontonkan alat kontrasespsi di depan umum.
·
Faktor yang perlu diperhatikan dalam
penggunaan hukum sebagai alat pengubah masyarakat
-Mempelajari efek sosial yang nyata
dari lembaga-lembaga serta ajaran-ajaran hukum
-Melakukan studi
sosiologis dalam mempersiapkan peraturan perundang-undangan serta dampak yang
ditimbulkan dari undang-undang itu
-Melakukan studi
tentang peraturan perundang-undangan yang efektif
-Memperhatikan sejarah
hukum tentang bagaimana suatu hukum itu muncul dan bagaimana diterapkan dalam
masyarakat.
BAB III
BASIS SOSIAL HUKUM SERTA HUKUM DAN KEKUATAN-KEKUATAN
SOSIAL
A.Paradigma
Sosiologi Hukum
P
|
aradigma sosiologi hukum adalah pengaruh timbal
balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya.berikut ini akan
dikemukakan pengaruh timbale balik tersebut sebagai berikut :
a) Kelompok-kelompok sosial; suatu aktivitas yang dilakukan
oleh dua orang atau lebih yang diatur oleh suatu hukum. Misalnya:
Ormas, “hukumnya” adalah AD/ART
b) Lembaga-lembaga sosial (lembaga yang diakui keberadaannya
di dalam masyarakat). Desa (UU Pemda), Perkawinan (UU No 1/1974); Waris (Hukum
Adat dan Hukum Islam)
c) Stratifikasi
sosial:pelapisan social dalam masyarakat,namun tetap memperhatikan persamaan
dihadapan hukum (equality before the law)
seperti yang tertuang di dalam Pasal 27 UUD 1945.
d) Kekuasaan
dan kewenangan yang diatur oleh hukum. Misalnya Presiden kekuasaan dan
kewenangannya diatur oleh UUD 1945.
e) Interaksi
sosial: hukum berfungsi untuk memperlancar interaksi sosial
(tindakan-sesuatu-makna)
f) Perubahan
sosial mempengaruhi perubahan hukum seperti UU No.1/1974 tentang perkawinan
g) Masalah
sosial: hal-hal yang berkaitan dengan kejahatan,hukumnya di dalam KUHP dan
KUHAP
B.Hukum
Dan Kewenangan
Penyelidikan terhadap
hukum di dalam masyarakat dimulai dari kelompok kecil,yang merupakan molekul-molekul
dari kehidupan sosial.di dalamnya setiap individu memperoleh tempat dan peran
mereka masig-masing. Bedasarkan hal ini, dapat dilihat dari kenyataan bahwa
individu adalah suatu unit terkecil dalam melanjutkan interaksi dengan yang
lain,mula-mula dalam keluarganya dan kemudian sebagai anggota dari kelompok sosial
yang lain.melalui partisipasi individu di dalam kehidupan kelompok, kelompok
itu menjadi instrument untuk memenuhi kebutuhannya. kelompok itu sendiri
mempengaruhi atau mengubah lingkungan tempat kelompok itu berfungsi.
Bila dilihat dari aspek
tingkah laku manusia, pelimpahan wewenang mencakup komunikasi antara seorang
peminpin dengan orang lain berdasarkan keputusannya. Setiap anggota dari suatu
kelompok,apakah ia pemimpin atau yang dipimpin, bertanggung jawab terhadap
tingkah laku yang dilakukannya dalam menjalankan tugasnya dan di dalam
lingkungan kebebasannya. Apabila tingkah lakunya di dalam bagian dari kelompok
khusus itu menyimpang, dia menjadi sasaran dari sanksi kelompok, termasuk
keputusan-keputusan sebagai penerapan oleh pemimpinnya dan oleh anggota lain.
SANKSI
Bagan
1.
Hubungan Hukum Dan Kewenangan Dalam
Masyarakat
C.Hukum
Dan Kekuatan-Kekuatan Sosial
Di dalam setiap
masyarakat terdapat kekuatan-kekuatan sosial (social Forces) yang dapat berfungsi sebagai alat untuk mencapai
suatu tujuan. Tujuan ini dapat bersifat baik dan tidak baik bagi masyarakat.
Bagi hukum ,yang penting untuk diperhatikan adalah penggunaan kekuatan sosial
yang merugikan masyarakat dan Negara.
a) Kekuatan
Uang
b) Kekuatan
Politik
c) Kekuatan
Massa
d) Teknologi
Baru
D.Manfaat Sosiologi Hukum Untuk
Memahami Bekerjanya Hukum di Dalam Masyarakat
Untuk memahami
bekerjanya hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari beberapa sudut pandang
seperti yang telah dikemukakan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa hukum
berfungsi sebagai social control dan
sebagai alat pengubah masyarakat, selain itu ada beberapa fungsi lain untuk
memahami bekerjanya hukum di dalam masyarakat yaitu sebagai berikut :
·
Fungsi hukum sebagai alat politik : dalam
system hukum di Indonesia peraturan Perundang-undangan merupakan produk bersama
DPR dan Pemerintah sehingga antara hukum dan politik sulit untuk dipisahkan. Namun
demikian, hukum sebagai alat politik tidak dapat berlaku secara universal, sebab
tidak semua hukum dibuat oleh DPR bersama Pemerintah
·
Fungsi hukum sebagai simbol : merupakan
makna yang dipahami oleh seseorang dari suatu perilaku warga masyarakat tentang
hukum. Contohnya : Seorang yang mengambil barang orang lain dengan maksud ingin
memiliki dengan jalan melawan hukum, oleh Hukum Pidana disimbolkan sebagai
tindak pidana pencurian.
·
Fungsi hukum sebagai alat Integrasi : Setiap
masyarakat mempunyai berbagai kepentingan dari warganya, di antara kepentingan
itu ada yang sesuai dengan kepentingan lain dan ada juga yang tidak sesuai
sehingga terjadi konflik dengan kepentingan lain. Oleh karena itu hukum
berfungsi sebelum terjadi konflik dan sesudah terjadi konflik.
BAB IV
HUKUM DAN MASYARAKAT
A.Perubahan
Dalam Masyarakat dan Pencapaian Tujuan Hukum
B
|
ila membicarakan perubahan dalam masyarakat dan
pencapaian tujuan hukum berarti mengkaji perubahan kehidupan sosial dalam
masyarakat yang berorientasi kepada proses pembentukan hukum dalam pencapaian
tujuannya. Objek pembahasan berfokus pada An
Engineering Interpretation atau interpretasi terhadap adanya perubahan
norma hukum sehingga fungsi hukum sebagai kontrol sosial dan alat pengubah
masyarakat dapat terwujud.
1. Konsep
dasar an engineering interpretation
Interpretation
adalah usaha untuk menggali, menemukan
dan memahami nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat. Engineering adalah
perubahan-perubahan norma dan nilai-nilai yang terjadi dalam masyarakat seiring
dengan terjadinya perubahan kebudayaan dalam masyarakat itu sendiri.
Dasar
pemikiran yang dijadikan tolak ukur untuk memberi pengertian An Engineering Interpretation adalah
bersumber dari Bab VII dalam buku yang berjudul Interpretation of Legal History yang disusun oleh Roscoe Pound. Pengertian dimaksud adalah
usaha-usaha yang dilakukan oleh kalangan pemikir hukum untuk menemukan
nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam masyarakat yang selalu mengalami
perubahan seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan masyarakat, untuk
selanjutnya nilai-nilai dimaksud diadaptasikan oleh para legislator dan
praktisi hukum dalam menyelesaikan dan mengambil kebijakan terhadap konflik
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dengan mengacu kepada tercapainya
cita-cita dan tujuan hukum itu sendiri.
2. An Engineering Interpretation
dalam kaitan fungsi hokum sebagai Social
Control dan Social Engineering
Seiring
dengan perubahan hukum dan kebudayaan yang bagai dua sisi mata uang yang tidak
mungkin untuk dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, maka fungsi hukum dan
keberadaan hukum itu dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu :
·
Pada masa lalu, hukum dipandang sebagai
produk atau hasil dari kebudayaan.
·
Masa sekarang, hukum dipandang sebagai pemelihara
kebudayaan.
·
Pada masa yang akan datang, hukum
dipandang sebagai alat untuk memperkaya kebudayaan.
Ketiga
sudut pandang di atas ,terlihat bahwa aturan hukum yang terbentuk dari nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dan
berkembang di tengah-tengah masyarakat, mempunyai tugas atau fungsi ganda yaitu
disatu pihak untuk menjaga nilai-nilai yang sudah ada dan berkembang dalam
masyarakat dan di lain pihak untuk membentuk kebudayaan baru dan mengembangkan
hak-hak manusia.
Perubahan
masyarakat timbul dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat itu
sendiri, dengan demikian hukum itu dapat
dijadikan sebagai pengatur hubungan masyarakat (Sosial Control), juga dapat dijadikan sebagai alat pengubah
masyarakat, sehingga hukum itu tidak tertinggal.
B. Pemahaman Interpretasi dalam Suatu
Perubahan Hukum Terhadap
Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960
Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960
merupakan undang-undang pertanahan yang pertama “dibentuk” dan “disusun” oleh
bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan Konstitusionalnya.
·
UUPA dipandang sebagai produk kebudayaan
Bila
UUPA dilihat dari sudut pandang produk kebudayaan, maka dapat dikatakan bahwa
di dalam struktur masyarakat yang sederhana sekalipun pasti dihasilkan apa yang
disebut kebudayaan. Kebudayaan dimaksud, merupakan hasil karya cipta, rasa, dan
karsa manusia yang hidup bersama dalam masyarakat di lingkungannya.
Sebagaimana
tertuang dalam penjelasan umum UUPA yang secara tegas menyatakan bahwa oleh
karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka hukum
agraria yang baru tersebut akan di dasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum
adat itu, sebagai hukum asli yang disempurnakan dan disesuaikan dengan
kepentingan masyarakat dalam Negara modern dan dalam hubungannya dengan dunia
internasional serta disesuaikan dengan sosialisasi Indonesia.
Uraian
di atas dipertegas dengan pasal 5 UUPA bahwa hukum agraria yang berlaku atas
bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat , sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan persatuan bangsa,.
Berdasarkan
hal di atas tampak bahwa hukum adat yang telah tercipta dari budaya individu
dan akhirnya terbentuk suatu sistem hukum yang berlaku kepada masyarakat hukum
adatnya, di interpretasikan oleh para legislator untuk disusun dalam suatu
regulasi yang dalam hal ini adalah hukum agraria, sehingga dalam proses
pembentukan UUPA, hukum adat dijadikan sebagai sumber utama.
·
UUPA dipandang sebagai pemelihara
kebudayaan
Bila
UUPA dilihat dari aspek pemelihara kebudayaan dapat ditunjukkan pada penjelasan
umum yang menyatakan bahwa oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk
kepada hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan di dasarkan pada
ketentuan-ketentuan hukum adat. Hal ini menunjukkan bahwa regulasi yang disusun
akan tetap melindungi “hukum adat” yang merupakan perwujudan masyarakat hukum
adat.
·
UUPA dilihat dari aspek memperkaya
kebudayaan
Dengan
telah disusun dan diberlakukannya UUPA maka untuk melanjutkannya, undang-undang
lain yang berkaitan dengan masalah agraria secara langsung tidak boleh
bertentangan dengan UUPA tersebut.
Namun bila ditelusuri
dari fungsi dan keberadaan hukum terlihat bahwa dalam UUPA, nilai-nilai budaya
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat mulai dikesampingkan dan digantikan
oleh hukum yang baru di dalam mengatur hubungan masyarakat,sehingga menyebabkan
sering timbulnya pertentangan kepentingan sebagaimana yang sering kita lihat
dan kita saksikan.
C.Hukum
di Indonesia dan Kaitannya dengan Reformasi
Hukum yang berlaku di
Indonesia adalah hukum yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945 dan
amandemennya. Suatu hukum yang dirasakan tidak adil secara yuridis empiris sesungguhnya
merupakan produk hukum yang sia-sia. Sebab, hakikat hukum adalah hukum yang
bekerja dalam masyarakat dan untuk keadilan masyarakat luas, tidak demi
keadilan hukum itu sendiri atau orang-orang tertentu saja.
Bila menggunakan
pendekatan sosiologi hukum, tampak bahwa yang menjadi objek kajiannya adalah
yuridis empiris atau biasa disebut kenyataan norma-norma hukum yang ada dan
hidup dalam masyarakat. Kalau pendekatan sosiologi hukum yang mempunyai objek
kajian yang telah disebutkan, merupakan tuntutan mendesak yang harus
dilaksanakan sebagai dampak reformasi maka harus diakui secara jujur bahwa
pendidikan hukum dalam kajian Jurisprudence
Model yang bersifat terapan tidak mampu memberikan pemahaman hukum yang
utuh kepada masyarakat yang diayomi oleh Negara yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945.
Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa sosiologi hukum bersama ilmu empiris lainnya niscaya dapat
memberikan sahamnya untuk memahami dan menjelaskan proses-proses hukum di
Indonesia bila hukum itu dilihat dari struktur sosial masyarakatnya. Pemahaman secara
legistis-positivistis dapat
mengakibatkan kekakuan pemahaman terhadap hukum. Harus diakui politik hukum
nasional yang menekakankan pada penyeragaman keadaan tertentu di Indonesia
lebih bersifat merusak daripada membangun suatu kehidupan yang sehat dan
harmonis. Oleh karena itu, perlu dipergunakan pendekatan sosiologi hukum dalam
melihat kasus-kasus tertentu. Pelaksanaan hukum yang dianggap mapan untuk
mengayomi penduduk yang mendiami Negara Republik Indonesia dari zaman orde lama
sampai reformasi akan hilang maknanya dan juga tidak mencapai tujuannya bila
dalam kasus-kasus tertentu tidak menggunakan pendekatan sosiologi hukum.
BAB V
KEBERADAAN HUKUM DALAM MASYARAKAT DALAM KONTEKS
PENEGAKAN HUKUM
A.Efektifitas
Hukum dalam Masyarakat
K
|
eefektivan hukum
adalah situasi dimana hukum yang berlaku dapat dilaksanakan, ditaati dan
berdaya guna sebagai alat kontrol sosial atau sesuai tujuan dibuatnya hukum
tersebut.
Menurut Soerjono Soekanto : 1993 : 5 Faktor-faktor yang
mempengaruhi Penegakan / Keefektifan hukum:
a)
Hukum/
Undang-Undang / Peraturan.
b)
Penegak
Hukum ( pembentuk hukum maupun penerap hukum).
c)
Sarana
atau Fasilitas pendukung.
d)
Masyarakat
e)
Budaya
Hukum (Legal Cultur).
Ad 1) Kalau hukum
itu baik, maka ada kejelasannya penafsiran, sinkronisasi baik vertikal maupun
horizontal.
Ad 2) Semua Capres,
janji penegakan hukum, berantas KKN, tapi persoalannya dimulai dari orang kemudian sistemnya.
Ad 3) Legal officer
tidak profesional, semuanya menjadi tidak berfungsi maksimal. Sebetulnya ke-2
unsur di atas sama fungsinya. Penegak hukum yang baik, kalau peraturannya tidak memadai
maka tidak akan berjalan dengan baik.
Hukum
Kesadaran hukum variabel perantara yang menghubungkan hukum dengan perilaku masyarakat.
Perilaku hukum artinya satu variabel yang akan menentukan
Apakah hukum yang ada akan menjadi peri-
Laku hukum/ tidak, sehingga kesadaran hu-
kum menjadifaktor yang paling menentukan.
Daya kerja hukum dalam mengatur dan
atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Dalam hal ini dipengaruhi
oleh: (1) kaidah hukum/ peraturan itu sendiri; (2) petugas/
penegak hukum; (3) sarana atau fasilitas yang digunakan
oleh penegak hukum; (4) kesadaran hukum masyarakat.
a) Kaidah Hukum
·
Kejelasan,
mudah difahami
·
Relevansi
sosial
·
Tidak
bertentangan dengan kaidah hukum yang lain/
yang lebih tinggi
·
Obyektif,
tidak diskriminatif
b) Penegak Hukum
·
Orang
yang bertugas menerapkan hukum
·
Mencakup
petugas pada strata atas, menengah dan bawah (memerlukan manajemen organisasi)
·
Tingkat
pemahaman petugas terhadap hukum
·
Karakter
dan komitmen penegak hukum
c) Sarana/Fasilitas
·
Kelengkapan
·
Keberfungsian
·
Efektifitas/efisiensi
Menurut ( E. Howard& R.S. Summer 1965) : Faktor yang mempengaruhi keefektifan hukum
:
1. Mudah tidaknya ketidaktaatan atau pelanggaran hukum itu
dilihat/ disidik. Makin mudah makin efektif.
Contoh : Pelanggaran narkoba (hukum pidana) lebih mudah dari pada
pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
2. Siapakah yang bertanggung jawab menegakkan hukum yang
bersangkutan. Contoh narkoba: tanggung jawab negara : leih efektif, HAM : tanggung jawab individu/ warga : kurang efektif.
Syarat agar hukum
efektif :
1. UU dirancang dengan baik, kaidahnya jelas, mudah dipahani & penuh kepastian.
2. UU sebaiknya bersifat melarang ( prohibitur)
dan bukan mengharuskan/ membolehkan ( mandatur).
3. Sanksi haruslah tepat dan sesuai tujuan.
4. Beratnya sanksi tidak boleh berlebihan
( sebanding dengan pelanggarannya).
5. Mengatur terhadap perbuatan yang mudah dilihat.
6. Mengandung larangan yang berkesesuaian dengan moral.
7. Pelaksana hukum menjalankan tugasnya dengan baik, menyebarluaskan UU, penafsiran seragam dan konsisten.
B.Usaha-Usaha
Meningkatkan Kesadaran Hukum
Pada umumnya orang
berpendapat bahwa kesadaran warga masyarakat terhadap hukum yang tinggi
mengakibatkan para warga masyarakat mematuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, begitu pula sebaliknya. Masalah kesadaran hukum
warga masyarakat sebenarnya menyangkut faktor-faktor apakah suatu ketentuan hukum
tertentu diketahui, diahami, ditaati dan dihargai. Hal-hal yang berkaitan
dengan kesadaran hukum akan diuraikan sebagai berikut :
1. Pengetahuan
hukum : bila suatu peraturan perundang-undangan telah diundangkan dan
diterbitkan menurut prosedur yang sah dan resmi, maka secara yuridis peraturan
perundang-undangan tersebut berlaku, dan secara otomatis setiap warga Negara
dianggap mengetahui adanya undang-undang tersebut.
2. Pemahaman
hukum : melalui pemahaman hukum , masyarakat diharapkan memahami tujuan
peraturan perundang-undangan serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya
diatur oleh peraturan perundang-undangan dimaksud.
3. Penaatan
hukum : seorang warga masyarakat menaati hukum karena; takut karena sanksi
apabila hukum dilanggar, untuk menjaga hubungan baik dengan penguasa, untuk
menjaga hubungan baik dengan sesamanya, karena hukum tersebut sesuai dengan
nilai-nilai yang dianut, dan kepentingannya terjamin.
4. Pengharapan
terhadap hukum : suatu norma hukum akan dihargai oleh warga masyarakat apabila
ia telah mengetahui, memahami, dan menaatinya. Artinya dia benar-benar dapat
merasakan bahwa hukum tersebut menghasilkan ketertiban serta ketentraman dalam
dirinya. Hukum itu tidak hanya berkaitan dengan segi lahiriah saja tetapi juga
batiniah.
Masalahnya banyak masyaraktat yang tidak memiliki kesadaran hukum sehingga
kadang hukum hanya berhenti sampai pengaturan saja.
Contoh : sahnya perkawinan/ syarat nikah, bagaimana ? harus sesuai ketentuan UU Perkawinan, untuk itu perlu
kesadaran hukum.
Dalam teorinya Berl Kutschinky,
kesadaran hukum yaitu variabel yang berisi empat komponen yaitu:
·
Komponen
Legal Awareness yaitu aspek mengenai
pengetahuan terhadap peraturan hukum yang dimiliki oleh masyarakat. Jadi teori
hukum menyatakan bahwa ketika hukum ditegakkan maka mengikat. Menurut teori
residu semua orang dianggap tahu hukum tapi kenyataannya tidak begitu, maka
perlu Legal Awareness. Contoh ketika
akan melakukan kontrak, tahu dulu Undang-Undangnya.
·
Legal Acquaintances : pemahaman hukum. Jadi orang memahami isi daripada
peraturan hukum, mengetahui substansi dari Undang-Undang.
·
Legal Attitude ( sikap hukum). Artinya kalau seseorang sudah memberikan apressiasi &
memberikan sikap : apakah UU baik/ tidak, manfaatnya apa ?
·
Legal Behavior ( perilaku hukum), orang tidak sekedar tahu, memahami tapi juga sudah
mengaplikasikan. Banyak orang tidak tahu hukum tapi perilakunya sesuai hukum
begitu juga banyak orang tahu hukum tapi justru perilakunya melanggar hukum.
Bahwa orang yang memiliki kesadaran hukum yang rendah, misal jika menggunakan
skor 4-5, sedang yang tertinggi skor 7-10.
Bahwa belum tentu ketentuan pertama menjadi prasarat
ketentuan berikutnya. Hal yang lebih ideal, jika ke-4 ketentuan memenuhi sarat.
Asumsinya hal di atas dalam keadaan normal ada proses sosialisasi hukum, penyuluhan,
pendidikan hukum.
Menurut Robert Biersted, 1970, The Social Order, Tokyo: Mac Graw Hill
Kogakusha Ltd, p. 227-229. Proses kepatuhan seseorang terhadap hukum kemungkinan
adalah:
·
Indoctrination: penanaman kepatuhan secara sengaja.
·
Habituation : pembiasaan perilaku.
·
Utility
;pemanfaatan dari kaidah yang dipatuhi.
·
Group Indentification: mengidentifikasikan dalam kelompok tertentu.
Menurut Herbert C. Kelman 1966,
Compliance, identification.Leopold Pospisil 1971, Antropology of Law,
Dasar-dasar Kepatuhan Hukum:
·
Compliance :
patuh hukum karena ingin dapat penghargaan dan menghindari sanksi.
·
Identification : menerima karena seseorang berkehendak.
·
Internalization : menerima/ diterima oleh individu karena telah menemukan isi yag
instrinsik.
BAB VI
STRUKTUR SOSIAL DAN HUKUM
A.Kaidah-Kaidah
Sosial dan Hukum
P
|
ergaulan hidup
manusia diatur oleh berbagai macam kaidah atau norma, yang pada hakekatnya
bertujuan untuk menghasilkan kehidupan bersama yang tertib dan tenteram. Di
dalam pergaulan hidup tersebut, manusia mendapatkan pengalaman-pengalaman
tentang bagaimana memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok atau primary needs, yang antara lain mencangkup sandang, pangan, papan,
keselamatan jiwa dan harta, harga diri, potensi untuk berkembang dan kasih
sayang. Pengalaman-pengalaman tersebut menghasilkan nilai-nilai positif maupun
negatif, sehingga manusia mempunyai konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang
baik dan harus dianut, dan apa yang buruk dan harus dihindari. Sistem
nilai-nilai tersebut sangat berpengaruh terhadap pola-pola berpikir manusia,
hal mmana merupakan suatu pedoman mental baginya.
Pola-pola berpikir manusia mempengaruhi sikapnya, yang merupakan
kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
terhadap manusia, benda ataupun keadaan-keadaan. Sikap-sikap manusia kemudian
membentuk kaidah-kaidah, oleh karena manusia cenderung untuk hidup tertur dan
pantas. Kehidupan yang teratur dan sepantasnya menurut manusia adalah
berbeda-beda. Oleh
karena itu diperlukan patokan-patokan atau pedoman-pedoman perihal tingkah laku
atau perikelakuan yang diharapkan.
Di satu pihak kaidah-kaidah tersebut ada yang mengatur pribadi manusia dan
terdiri dari kaidah-kaidah kepercayaan dan kesusilaan. Kaidah kepercayaan
bertujuan untuk mencapai suatu kehidupan yang ber-Iman,
sedangkan kaidah kesusilaan bertujuan agar manusia hidup
berakhlak atau mempunyai hati nurani bersih. Di lain pihak ada kaidah-kaidah
yang mengatur kehidupan antar manusia atau antar pribadi, yang terdiri dari
kaidah-kaidah kesopanan dan kaidah hukum. Kaidah kesopanan bertujuan agar
pergaulan hidup berlangsung dengan menyenangkan, sedangkan kaidah hukum
bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam pergaulan antar manusia. Kedamaian
tersebut akan tercapai, dengan menciptakan suatu keserasian antar ketertiban
(yang bersifat lahiriah) dengan ketentraman, merupakan suatu ciri yang
membedakan hukum dengan kaidah-kaidah sosial lainnya.
Secara sosiologis merupakan suatu gejala yang wajar, bahwa akan ada
perbedaan-perbedaan antar kaidah-kaidah hukum di satu pihak dengan perikelakuan
yang nyata. Hal ini terutama disebabkan, oleh karena kaidah hukum merupakan
patokan-patokan tentang perikelakuan yang diharapkan yang dalam hal-hal
tertentu merupakan abstraksi dari pola-pola perikelakuan sosial yang nyata
dengan perikelakuan sebagaimana yang diharapkan oleh hukum. Dengan uraian
tersebut, maka sedikit banyaknya akan terungkapkan beberapa dasar sosial
daripada hukum.
Kiranya telah cukup jelas bahwa setiap masyarakat memerlukan suatu
mekanisme pengendalian sosial agar segala sesuatunya berjalan dengan tertib.
Yang dimaksudkan dengan mekanisme pengendalian sosial (mechanisme of social control) ialah segala sesuatu yang dilakukan
un tuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan
untuk mendidik, mengajak atau bahkan memaksa para warga masyarakat agar
menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilai kehidupan masyarakat
yang bersangkutan. Namun permasalahannya di sini adalah bagaimana untuk
menentukan bahwa salah satu tipe pengendalian sosial tersebut dapat dinamakan
hukum. Dengan perkataan lain, persoalannya kembali lagi pada masalah membedakan
hukum dari kaidah-kaidah sosial lainnya persoalan mana telah lama membingungkan
para antropolog dan para sosiolog. Walaupun kesulitan-kesulitan tetap ada,
namun ada suatu konsensus bahwa semua masyarakat mempunyai suatu perangkat
kaidah-kaidah yang dapat dinamakan hukum.
Seorang tokoh yang bernama Max Weber
menekankan pada pelaksanaan hukum oleh suatu kekuasaan yang terpusat.
Dikatakannya kemudian bahwa seorang sosiolog tugasnya bukan untuk menilai suatu
sistem hukum, akan tetapi hanya memahaminya saja. Konsepsi Max Weber tentang hukum memungkinkan usaha-usaha untuk menemukan
kelompok kecil sampai sampai dengan kelompok-kelompok besar seperti negara.
Lagi pula Weber sebetulnya tidak
menganggap hukum sebagai perintah (command),
akan tetapi sebagai suatu ketertiban (order).
Dengan demikian dia tidaklah memandang hukum semata-mata sebagai pelaksana
suatu kekuasaan yang terpusat. Weber
sebetulnya lebih mengutamakan pengertian wewenang (authority) sebagai intisari dari hukum.
Seorang tokoh lain, yaitu H.L.A.Hart
berusaha untuk mengembangkan suatu konsep tentang hukum yang mengandung
unnnsur-unsur kekuasaan yang terpusatkan maupun kewajiban-kewajiban tertentu
yang secara intrinsik terdapat di dalam gejala hukum. Menurut Hart, maka inti dari suatu sistem hukum
terletak pada kesatuan aturan utama dari aturan-aturan sekunder (primary and secondary rules).
Aturan-aturan utama merupakan ketentuan-ketentuan informal tentang
kewajiban-kewajiban yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pergaulan hidup.
Adalah mungkin untuk hidup dengan aturan-aturan utama saja di dalam masyarakat
yang sangat stabil di mana para warganya saling mengenal serta mempunyai
hubungan yang erat satu dengan yang lainnya. Tetapi semakin kompleks suatu
masyarakat, semakin pudar kekuatan aturan-aturan utama tersebut. Oleh karena
itu diperlukan aturan-aturan sekunder yang terdiri dari:
·
Rules Of Recognition, yaitu aturfan-aturan yang menjelaskan apa yang
dimaksudkan dengan aturan-aturan utama dan di mana perlu, menyusun
aturan-aturan tadi secara hierarkhis menuruut urutan-urutan kepentingannya;
·
Rule Of Change, yaitu aturan yang mensahkan adanya aturan-aturan utama yang baru; dan
·
Rule Of Adjidication, yaitu aturan-aturan yang memberikan hak-hak kepada
orang-perorangan untuk menentukan apakah pada peristiwa-peristiwa tertentu
suatu aturan utama dilanggar.
Kaidah
Sosial dan Kaidah Hukum sulit dibedakan :
-Karena
keduannya teroperasi secara bersama dalam masyarakat.
-Keduanya mempunyai tujuan yang sama, sebagai alat kontrol
sosial.
-Terjadi saling
tarik diantara keduanya.
Kaidah dinamakan hukum jika memenuhi :
( atribut of authority)
-Kaidah itu
dinamakan kaidah hukum jika dibuat oleh mereka yang punya kewenangan.
(atribut attention)
-Bahwa kaidah itu
mempunyai tujuan dan berlaku secara unversal.
-Kaidah berlaku
secara universal dan tidak untuk sementara waktu.
B.Lembaga-Lembaga
Kemasyarakatan
Lembaga kemasyarakatan
merupakan himpunan daripada kaidah-kaidah dari segala tingkatan yang berkisar
pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian maka
lembaga-lembaga kemasyarakatan mempunyai beberapa fungsi, yaitu :
·
Memberikan pedoman kepada warga
masyarakat bagaimana mereka harus bertingkah laku dalam menghadapi masalah
terutama menyangkut kebutuhan-kebutuhan pokok.
·
Menjaga keutuhan masyarakat yang
bersangkutan.
·
Memberikan pegangan kepada masyarakat
untuk mengadakan system pengendalian sosial.
Masalah yang dapat
timbul dari hubungan antara lembaga-lembaga kemasyarakatan dengan hokum adalah
pertama-tama dapatkah hukum dianggap sebagai suatu lembaga kemasyarakatan. Bahwa
hukum merupakan suatu lembaga kemasyarakatan, karena disamping sebagai gejala
sosial (das sein), hukum juga
mengandung unsur-unsur yang ideal (das
sollen).
Dengan kata lain, lembaga
kemasyarakatan yang pada suatu waktu mendapatkan penilaian tertinggi dari
masyarakat, mungkin merupakan lembaga kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh
lebih besar terhadap lembaga kemasyarakatan lainnya. Namun demikian, hukum
merupakan suatu lembaga kemasyarakatan yang primer (utama) di dalam suatu
masyarakat apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
·
Sumber dari hukum tersebut mempunyai
wewenang dan berwibawa.
·
Hukum itu jelas dan sah secara yuridis, filosofis
maupun sosiologis.
·
Penegak hukum dapat dijadikan teladan
bagi faktor kepatuhan terhadap hukum.
·
Diperhatikannya faktor pengendapan hukum
di dalam jiwa pada warga masyarakat.
·
Para penegak dan pelaksana hukum merasa
dirinya terkait pada hukum yang diterapkan dan membuktikannya di dalam
perikelakuannya.
·
Sanksi-sanksi yang positif maupun
negatif dapat dipergunakan untuk menunjang pelaksanaan hukum.
·
Perlindungan yang efektif terhadap mereka
yang terkena aturan-aturan hukum.
C.Kelompok-Kelompok
Sosial dan Hukum
Kelompok-kelompok sosial
merupakan kesatuan manusia yang hidup bersama karena adanya hubungan antara
mereka. Hubungan tersebut menyangkut hubungan timbal balik yang saling
mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling tolong-menolong. Dengan demikian
, maka kelompok social mempunyai syarat-syarat sebagai berikut :
1. Setiap
warga kelompok tersebut harus sadar bahwa dia merupakan sebagian dari kelompok
yang bersangkutan.
2. Ada
hubungan timbal balik antara warga yang satu dengan warga lainnya.
3. Terhadap
suatu faktor yang dimiliki bersama warga kelompok itu,sehingga hubungan antara
mereka bertambah erat.
4. Ada
struktur.
5. Ada
perangkat-perangkat kaidah.
6. Menghasilkan
sistem tertentu.
Mempelajari kelompok
sosial merupakan hal yang penting bagi hukum, oleh karena hukum merupakan
abstraksi dari interaksi sosial dinamis di dalam kelompok-kelompok sosial
tersebut interaksi sosial yang dinamis tersebut lama-kelamaan karena
pengalaman, menjadi nilai-nilai sosial yaitu konsepsi-konsepsi abstrak yang
hidup di dalam alam pikiran bagian terbesar warga masyarakat tentang apa yang
dianggap baik dan tidak baik dalam pergaulan hidup.
Betapa pentingnya
kelompok sosial bagi usaha-usaha untuk mengenal sistem hukum juga dibuktikan
oleh Daniel S.Lev di dalam uraiannya
tentang proses perubahan hukum di Indonesia yang menyoroti pengaruh dari
konflik antara para hakim, jaksa dan polisi terhadap perkembangan
lembaga-lembaga hukum di Indonesia. Para hakim, jaksa, dan polisi secara
sosiologis merupakan kategori sosial. Pertama yang ditelaahnya adalah
pertentangan anatara para hakim dengan jaksa mengenai wibawa, yang mengakibatkan
usaha-usaha untuk mengubah hukum acara pidana dan kekuasaan yudisial. Kemudian ditelaahnya
pula konflik antara polisi dengan kejaksaan perihal pembagian kekuasaan yang
juga menyangkut soal kedudukan dan wibawa.
D.Lapisan-Lapisan
Sosial, Kekuasaan, dan Hukum
Pada umumnya manusia
bercita-cita agar tak ada perbedaan kedudukan dan peranan di dalam masyarakat. Akan
tetapi , cita-cita tersebut selalu akan tertumbuk pada kenyataan yang
berlainan. Setiap masyarakat harus menempatkan warganya pada tempat-tempat
tertentu di dalam struktur sosial . Dengan demikian, maka mau tidak mau harus
ada sistem lapisan di dalam masyarakat, karena gejala tersebut sekaligus
memecahkan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat.
kekuasaan mempunyai
peranan yang sangat penting karena dapat menentukan nasib manusia. Baik buruknya
kekuasaan tadi senantiasa harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu
tujuan yang telah ditentukan atau disadari oleh masyarakat terlebih dahulu. Adanya
kekuasaan tergantung dari hubungan antara yang berkuasa dengan yang dikuasai. Apabila
kekuasaan itu dijelmakan pada diri seseorang, maka biasanya orang itu dinamakan
pemimpin dan mereka yang menerima pengaruhnya dinamakan pengikutnya. Bedanya
antara kekuasaan dan wewenang adalah setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak
lain dapat dinamakan kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada
pada seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat
pengakuan dari masyarakat.
Apabila kekuasaan
dihubungkan dengan hukum maka paling sedikit dua hal yang menonjol, pertama
para pembentuk, penegak maupun pelaksana hukum adalah para warga masyarakat
yang mempunyai kedudukan yang mengandung unsur-unsur kekuasaan. Kedua ,sistem
hukum antara lain menciptakan dan merumuskan hak dan kewajiban beserta
pelaksanaannya.
Bagaimana hubungan antara
kekuasaan, lapisan-lapisan sosial dan hukum dikatakan oleh Malcver bahwa melalui sistem hukum, hak dan kewajiban ditetapkan
untuk warga masyarakat yang menduduki posisi tertentu atau kepada seluruh
masyarakat. Hak dan kewajiban mempunyai hubungan timbal balik artinya hak
seseorang menyebabkan timbulnya kewajiban pada pihak lain dan sebaliknya. Dengan
demikian dapatlah dikatakan bahwa hukum merupakan refleksi dari pembagian
kekuasaan dan memberi pengaruh terhadap sistem lapisan sosial dalam masyarakat.
BAB VII
HUKUM DAN POLITIK DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DAN
MEWUJUDKAN KEADILAN
tulisan ini sangat bermanfaat bagi mahasiswa,akademisi,dan praktisi maupun masyarakat umum untuk dijadikan referensi.
BalasHapusKok bab VII ndak dilanjutin sih pak?
BalasHapus