BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Harapan utama dan
paling didambakan setelah bergulirnya reformasi adalah terbentuknya civil
society. Sebuah masyarakat yang hidup dengan beradab dan memiliki hubungan
dialogis yang baik dengan negara. Dalam konsep civil society atau biasa
disebut masyarakat madani sangat menjunjung tinggi demokratisasi, kebebasan,
keterbukaan, egalitarianisme dan keadilan. Itulah kira-kira konsep yang
diharapkan oleh para reformis, mahasiswa dan kalangan intelektual yang
membidani terjadinya reformasi yang kala itu memang sudah sangat jera oleh
pemerintahan orde baru yang memasung kebebasan.
Cita-cita reformasi untuk mendudukan hukum di tempat
tertinggi (supremacy of law) dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara hingga detik ini tak pernah terealisasi.
Bahkan dapat dikatakan hanya tinggal mimpi dan angan-angan (utopia). Begitulah kira-kira statement
yang pantas diungkapkan untuk mendeskriptifkan realitas hukum yang ada dan
sedang terjadi saat ini di Indonesia.
Bila dicermati suramnya wajah hukum merupakan implikasi dari kondisi penegakan hukum (law enforcement) yang stagnan dan kalaupun hukum ditegakkan maka penegakannya diskriminatif. Praktik-praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia peradilan, proses peradilan yang diskriminatif, jual beli putusan hakim, atau kolusi Polisi, Hakim, Advokat dan Jaksa dalam perekayasaan proses peradilan merupakan realitas sehari-hari yang dapat ditemukan dalam penegakan hukum di negeri ini. Pelaksanaan penegakan hukum yang “kumuh” seperti itu menjadikan hukum di negeri ini seperti yang pernah dideskripsikan oleh seorang filusuf besar Yunani Plato (427-347 s.M) yang menyatakan bahwa hukum adalah jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat. (laws are spider webs; they hold the weak and delicated who are caught in their meshes but are torn in pieces by the rich and powerful).
Bila dicermati suramnya wajah hukum merupakan implikasi dari kondisi penegakan hukum (law enforcement) yang stagnan dan kalaupun hukum ditegakkan maka penegakannya diskriminatif. Praktik-praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia peradilan, proses peradilan yang diskriminatif, jual beli putusan hakim, atau kolusi Polisi, Hakim, Advokat dan Jaksa dalam perekayasaan proses peradilan merupakan realitas sehari-hari yang dapat ditemukan dalam penegakan hukum di negeri ini. Pelaksanaan penegakan hukum yang “kumuh” seperti itu menjadikan hukum di negeri ini seperti yang pernah dideskripsikan oleh seorang filusuf besar Yunani Plato (427-347 s.M) yang menyatakan bahwa hukum adalah jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat. (laws are spider webs; they hold the weak and delicated who are caught in their meshes but are torn in pieces by the rich and powerful).
Implikasi yang ditimbulkan dari tidak berjalannya penegakan
hukum dengan baik dan efektif adalah kerusakan dan kehancuran diberbagai bidang
(politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Selain itu buruknya penegakan hukum
juga akan menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum
semakin menipis dari hari ke hari. Akibatnya, masyarakat akan mencari keadilan
dengan cara mereka sendiri. Suburnya berbagai tindakan main hakim sendiri
(eigenrichting) di masyarakat adalah salah satu wujud ketidakpercayaan masyarakat
terhadap hukum yang ada.
Negara Hukum Indonesia jelas bukan sekedar kerangka bangunan
formal tapi lebih daripada itu ia merupakan manifestasi dari nilai-nilai dan
norma-norma, seperti, kebersamaan, kesetaraan, keseimbangan, keadilan yang
sepakat dianut bangsa indonesia. Nilai-nilai luhur itu berasal dari berbagai
sumber seperti, agama, budaya, Social, serta pengalaman hidup bangsa Indonesia.
Permasalahan Penegakan hukum (Law
Enforcement) senantiasa menjadi persoalan menarik banyak pihak.
Terutama karena adanya ketimpangan interaksi dinamis antara aspek hukum dalam
harapan atau Das Sollen, dengan aspek
penerapan hukum dalam kenyataan atau Das Sein.
Bilamana ketimpangan interaksi terus berlangsung, maka penegakan hukum pada
umumnya kurang dapat mencerminkan wujud keadilan yang dicita-citakan. Untuk
mencapai cita-cita tersebut, diperlukan suatu penegakan hukum sebagai
upaya-upaya untuk melakukan perencanaan pembentukan peraturan hukum (legal planning), pengkordinasian (coordinating), penilaian (evaluating), dan pengawasan (controlling) dan pemantauan (monitoring) yang terukur terhadap kualitas
produk hukum, institusi dan aparat penegak hukum, dan budaya hukum.
B. Latar Belakang Masalah
Dari latar
belakang di atas, penulis menarik sebuah
rumusan masalah yaitu:
1. Bagaimana Realita Penegakan Hukum di Indonesia Pasca Reformasi
serta factor-faktor yang mempengaruhinya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Faktor-faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum di indonesia pasca Reformasi
Mencermati berbagai problem yang menghambat proses penegakan
hukum sebagaimana diuraikan di atas. Langkah dan strategi yang sangat mendesak (urgent) untuk dilakukan saat ini
sebagai solusi terhadap persoalan tersebut ialah melakukan pembenahan dan
penataan terhadap sistem hukum yang ada. Menurut Lawrence Meir Friedman di
dalam suatu sistem hukum terdapat tiga unsur (three elements of legal system
yaitu, struktur (structure),
substansi (subtance) dan kultur hukum
(legal culture). Dalam konteks
Indonesia, reformasi terhadap ketiga unsur sistem hukum yang dikemukakan oleh
Friedman tersebut sangat mutlak untuk dilakukan. Terkait dengan struktur sistem
hukum, perlu dilakukan penataan terhadap intitusi hukum yang ada seperti
lembaga peradilan, kejaksaan, kepolisian, dan organisasi advokat. Selain itu
perlu juga dilakukan penataan terhadap institusi yang berfungsi melakukan
pengawasan terhadap lembaga hukum. Dan hal lain yang sangat penting untuk
segera dibenahi terkait dengan struktur sistem hukum di Indonesia adalah
birokrasi dan administrasi lembaga penegak hukum. Memang benar apa yang
dikemukan oleh Max Weber (1864-1920) bahwa salah satu ciri dari hukum modern
adalah hukum yang sangat birokratis. Namun, birokrasi yang ada harus respon
terhadap realitas sosial masyarakat sehingga dapat melayani masyarakat pencari
keadilan (justitiabelen) dengan baik. Dalam hal substansi sistem hukum perlu segera
direvisi berbagai perangkat peraturan perundang-undangan yang menunjang proses
penegakan hukum di Indonesia. Misalnya, peraturan perundang-undangan dalam
sistem peradilan pidana di Indonesia seperti KUHP (Kitab Undang-undang Hukum
Pidana) dan KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) proses revisi yang
sedang berjalan saat ini harus segera diselesaikan. Hal ini dikarenakan kedua
instrumen hukum tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat saat
ini. Ketiga, Untuk budaya hukum (legal culture) perlu dikembangkan prilaku taat
dan patuh terhadap hukum yang dimulai dari atas (top down). Artinya, apabila
para pemimpin dan aparat penegak hukum berprilaku taat dan patuh terhadap hukum
maka akan menjadi teladan bagi rakyat.Akhirnya, kita berharap agar ditahun 2007
ini pemerintah dapat secepatnya menyelesaikan agenda reformasi hukum yang
selama ini tidak berjalan dengan baik. Jika tidak, bersiap-siaplah akan segera
tercipta suatu masyarakat seperti yang pernah dilukiskan oleh seorang filosof
besar Inggris Thomas Hobbes (1588-1679) yaitu masyarakat homo homini lupus
bellum omnium contra omnes.
Pasca reformasi banyak terjadi konflik of
interest antara hukum dan penegak hukum itu sendiri. Jika saya ibaratkan dari
doktrin dari Hanant Arrent fenomena tersebut bagaikan “Anibal Laborans” yang artinya “orientasi dan obsesi politik adalah
sebagai mata pencaharian”. Hal ini telah terbukti dengan banyaknya kasus-kasus
korupsi yang telah menggunakan hukum sebagai jalan untuk melanggengkan obsesi
para koruptor. Kejadian demi kejadian telah mewarnai hukum di Indonesia.
Berawal dari adanya upaya mengkriminalisasikan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) yang berujung adanya konstelasi politik dan hukum antara KPK dan POLRI
dengan analogi Cicak Vs Buaya yang telah mendewakan Aggodo W. sebagai aktor intelektualnya.
Peristiwa tersebut menyebabkan keluarnya Perpu No.4 Tahun 2009 tentang Plt
Pimpinan KPK. Berawal dari Perpu No.4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem
Keungan (JPSK) yang melahirkan kasus Bank Century yang telah menyeret Wakil
Presiden Boediono dan Menkeu Sri Mulayani Indrawati. Telah ada Keppres No.37
Tahun 2009 tentang Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, tapi carut marutnya mafia
peradilan di institusi penegak hukum yaitu di Polri dan Kejaksaan pasca
pembongkaran yang dilakukan oleh Susno Duadji salah satu petinggi dari Polri
juga. Tidak cukup sampai di situ saja kita telah digegerkan dengan temuan kasus
korupsi di Dirjen pajak oleh Gayus Tambunan sebesar 28 Miliar yang juga telah
menyeret para petinggi-petinggi Polri. Politik uang telah menggerogoti mental
para penegak hukum dengan munculnya para makelar kasus (markus) bermental tikus
yang telah memporak-porandakan sistem hukum di Indonesia. Tidak lama kemudian
disuguhkan dengan hebohnya video porno dari artis Indonesia yang telah mengkooptasi
hukum agar dapat dilegalkan. Existensi dari Undang-Undang No.44 Tahun 2008
tentang Pornografi dan Pornoaksi, Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik juga menjadi taruhannya. Selain itu juga
hukum kita telah goncang dengan dijadikannya tersangka Yusril Ihza Hahendra
mantan Mentri Hukum dan HAM. Tarik ulur legalisasi tentang Sistem Administrasi
Badan Hukum (Sisminbakum) juga mewarnai hukum di Indonesia. Tidak kalah
menariknya statement yang menyatakan Jaksa Agung Hendarman Supanji jabatannya
adalah inkonstitusional dan telah illegal. Hal ini merujuk dari Keppres No.31
Tahun 2007 bahwa masa jabatannya hanya 5 (lima) tahun dan tidak diperpanjang
lagi dengan korelasi Keppres No.84 Tahun 2009 tentang salinan pembentukan kabinet
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak ada nama Jaksa Agung. Hal ini
mengindikasikan bobroknya internal Kejaksaan dengan upaya penegakan hukum di
Indonesia atau hanya rekayasa hukum belaka.
Mulai diawal tahun 2011 adanya wacana pelemahan KPK melalui
revisi UU KPK dan UU Korupsi, Kontroversi UU no.2 Tahun 2011 tentang parpol
yang justru akan melanggengkan kekuasaan, adanya tarik ulur RUU intelijen
negara dan bahkan ada wacana akan jadi lembaga negara, pemilihan komisioner KPK
pengganti Busro Muqodas dkk lewat kontroversi Pansel Komisi Informasi dari UU
No.14 tahun 2008, ketidak netralan kejaksaan dengan membiarkan Awang Farouk ke
luar negeri, kontroversi politik dan hukum di PSSI, komisioner KY yang tidak
independent dalam mengawasi perilaku hakim, polemik Nunun Nurbaeti tentang
ekstradisi dari Depkumham, dan pemilihan komisioner KPK pengganti Busro Muqodas
lewat kontroversi Pansel Komisi Informasi dari UU No.14 tahun 2008.
Tertangkapnya Nazzaruddin dari partai penguasa di negeri ini
telah menggemparkan panggung politik dan yang lain bersorak sorai. Bermula dari
proyek wisma atlet dan bahkan Angelina Sondakh sebagai anggota legislatif
diduga terlibat dalam melicinkan proyek tersebut bekerjasama dengan Badan
Anggaran dan BURT DPR agar uang dapat keluar. Semua politisi partai penguasa
tsb gempar apalagi MK adalah lembaga yang mempublikasikan kasus itu ke publik.
Konspirasi dan konstelasi politik tidak berhenti begitu saja suap juga terjadi
120.000 US Dollar kepada Sekjend MK antara elit dan lembaga negara saling menjatuhkan.
Hegemoni mafia hukum sedikit ada restrukturisasi dengan ditahannya Hafid
Muharam, M.R Manulang dan M.El Idris oleh KPK. Perjalanan panjangnya berawal
dari Singapura berakhir di Bogota, Kolombia dengan ditangkapnya oleh Interpol.
Proses hukum tidak berhenti begitu saja proses pemulangannya apakah harus
dengan ekstradisi atau tidak menjadi problematik mengingat Kolombia tidak ada
perjanjian dengan pihak Indonesia. Fakta telah membuktikan kuasa hukumnya tidak
mengajukan gugatan, jika sampai mengajukan gugatan dan diterima hilang sudah
citra hukum di Indonesia. Nyanyian Nazzarudin telah melibatkan banyak pihak
jajaran Sesmenpora, presidium KPK dan bahkan ketua umumnya Anas Urbaningrum
juga terkena testimoni yang masih menimbulkan kontroversial. Dalam waktu yang
hampir bersamaan hakim Syarifuddin yang telah membuat ulah di pengadilan.
Prestasi luar biasa yang pernah dilakukan ialah membebaskan 39 terdakwa korupsi
dan paling akhir telah dibebaskannya vonis bebas Gubernur Bengkulu, Agusrin M.
Najamudin. Ia juga ditangkap saat diduga menerima suap sebesar Rp250 juta dari
Puguh Wirawan, kurator PT Skycamping Indonesia.
Kontroversial hukum tidak berhenti begitu saja lembaga super
body MK juga terkena badai politisasi terlepas kasus yang dijalani tersebut
benar atau tidak. Pemalsuan surat di MK yang melibatkan Andi Nurpati yang
sekarang menjadi salah satu petinggi di partai penguasa tidak sedikit dapat
tersentuh oleh hukum walaupun fakta dan bukti ia terlibat dan pernah memimpin
rapat pleno terkait pembuatan surat. Dalam sistem ketatanegaraan tidak terlepas
terdapat permasalahan hukum mulai dari wacana revisi UU MK dan perseteruan
antara MA dan KY terkait KY yang dianggap melampaui batas dalam memberikan
pengawasan terhadap kinerja hakim. Selain itu polemik di internal DPR juga
terjadi dan kini sedang menghantam alat-alat kelengkapan yang dinilai selama
ini tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Ada wacana harus dihapus dan
cuma tiga fungsi saja yang harus dimiliki oleh DPR, tetapi ada juga yang justru
malah harus ditambahkan. Semua itu menunjukan demokrasi transaksional dan
politisasi lembaga tetap akan dilanggengkan demi golongan-golongan tertentu.
Korupsi yang merupakan gurita dan monster bangsa telah
menggerogoti di instansi-instansi pemerintah. Di penghujung tahun 2011 ini
tidak kalah hebohnya pembunuhan karakter dari fungsionaris partai dihantam oleh
kasus korupsi di Kemenakertrans. Walaupun KPK internalnya dikriminalisasi dan
dipolitisasi oleh berbagai pihak setidaknya masih mempunyai taring untuk
menjerat para koruptor. Polemik yang tengah menghinggapi KPK berawal dari
perseteruan baik dari internal KPK, pemerintah dan DPR. Perlu kita ingat bahwa
masalah tersebut berawal dari ditetapkannya Antasari Azhar sebagai tersangka
pembunuhan kemudian pemerintah mengeluarkan Plt terhadap Tumbak P. sebagai
pimpinan KPK sementara. Selang beberapa bulan terpilihlah Busro M. sebagai
pimpinan KPK setelah melewati fit and proper test di DPR. Masalah lagi timbul
ketika terdapat pro dan kontra terhadap masa jabatannya hanya Cuma satu tahun.
Aturan dalam Pasal 30-33 UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK banyak ditafsirkan dan
disalahartikan. Melalui putusan MK tetap Busro M.dan jajaran presediumnya
berhak menduduki jabatan tidak hanya satu tahun.
Dilain pihak pansel pemilihan pimpinan KPK tetap dibentuk
dan terpilih 8 calon pimpinan KPK yaitu Bambang W. sebagai pengacara, Yunus
Husein sebagai ketua PPATK, Abdullah Hehamahua sebagai penasehat KPK, Handoyo
Sudrajat sebagai deputi KPK, Abraham Samad sebagai pengacara, Zulkarnaen
sebagai jaksa, Adnan Pandupraja sebagai kompolnas, Aryanto Sutadi sebagai
purnawirawan polisi. Hal ironi ditunjukan oleh para anggota dewan dari Komisi
III DPR usulan dari pemerintah tersebut ditolak dan memnita 10 orang bukan 8
dengan berdalih menafsirkan dari UU KPK. Untuk hasil selanjutnya kita tunggu
saja siapa yang layak menjadi pimpinan KPK. Tarik ulur tersebut telah
mengindikasikan anggota DPR ingin mengerdilkan dan menjadi penentu aktor utama
dalam proses pimpinan KPK. Kompromi politik juga ditunjukan oleh para anggota
DPR agar para calon pimpinan KPK yang mempunyai kredibilitas dan
professionaliatas dihantam ditengah jalan agar tidak lolos menjadi pimpinan
KPK. Testimoni dari Nazzarudin tentang calon pimpinan KPK apakah benar telah
ada rekayasa dan deal-dealan politik kita tunggu saja kebenarannya.
Partai-partai penguasa telah dijerat oleh aksi-aksi KPK akankah perlawanan dari
semua fraksi di DPR akan terus menjegal upaya KPK dalam pemberantasan korupsi
di negeri ini.
Di akhir tahun 2011 polemik terkait pimpinan KPK telah
berakhir dan telah terpilih melalui voting para jajaran presidium baru dengan
pimpinan Abraham Samad. Tantangan muncul bagi KPK ketika audit investigasi dari
BPK telah diserahkan kepada KPK dan mampukah untuk membongkar kasus century
yang jelas telah melibatkan para penguasa negeri ini. Di penghujung tahun 2012
tidak kalah hebohnya Nunun Nurbaeti yang selama ini menjadi buronan berhasil
ditangkap dan telah mengungkap fakta hukum baru yang melibatkan para anggota
dewan terkait grafitikasi cek pelawat. Kasus Nazzarudin pun terus berlanjut dan
melahirkan babak baru terhadap polemik hukum yang terjadi di negeri ini. Kasus
perdagangan hukum tidak berhenti begitu saja hal yang paling menghebohkan
ketika BURT dan Banggar yang merupakan alat kelengkapan negara terafliasi
terhadap kontroversi politik dan hukum. Pemborosan APBN pun terjadi guna
kemewahan dan gaya hidup foya-foya dari para anggota dewan. Jika semua
permasalahan hukum hanya terus dipolitisisasi dan terkoptasi oleh kepentingan
maka harkat dan martabat bangsa akan tergadaikan dan tunggulah tumbangnya
negara tercinta ini.
Pada awal tahun 2012 telah terjadi tarik ulur hukum terkait
dengan kenaikan BBM UU No. 12 Tahun 2011 tentang APBN Pasal 7 ayat 6 tiba-tiba
sela waktu satu jam 31-03-2012 dalam rapat paripurna ada tambahan menjadi pasal
6a. Dengan adanya ini banyak fenomena yang menyusul terkait paradigm tata
negara. Ada fakta akan diajukan judicial review terhadap pasal 28 A ayat 1 dan
28 ayat 2 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. UU partai politik juga
telah disahkan banyak pergulatan hukum dan politik di dalamnya. Hal yang tidak
kalah menarik adalah adanya Keputusan Mentri BUMN no.236/MBU/2011 telah
terdapat terobosan baru dalam memangkas proses birokrasi yang berbelit-belit,
tapi juga telah memberikan efek buruk dalam birokrasi perusahaan ketika
penunjukan direksi tanpa melalui RUPS. Semua itu akan tergantung dari sikap
professional dari kebijaksanaan sang mentri.
Terkait tentang perlindungan Hak Asasi Manusia, di
Indonesia saat ini secara formal kita telah mempunyai Konstitusi yang mengakui
dan menjamin hak asasi manusia (HAM) yaitu, persamaan hak, kedudukan, dan
tanggungjawab bagi setiap peserta dalam proses politik. Namun secara material
tak dapat dibantah masih adanya kelompok-kelompok dominan, baik itu domestik
maupun internasional yang mampu memonopoli jalan menuju kekuasaan. Kelompok-kelompok
dominan ini mempunyai akses yang luas pada sumberdaya ekonomi dan politik yang
acap memustahilkan perwujudan kedaulatan hukum ( the Autonomy of Law ). Selain
itu elemen-elemen budaya yang belum tercerahkan dan terbebaskan merupakan
hambatan nyata bagi tegaknya Hak Asasi Manusia (HAM) .
Kurangnya kesadaran menerapkan sistem peradilan terpadu (an integrated justice system), atau karena ego
sektoral antara institusi penegak hukum yang ada, berakibat masyarakat tidak
mudah mempercayai adanya peradilan yang berwibawa, baik di tingkat Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi dan juga di tingkat Kasasi, Mahkamah Agung. Melihat
persoalan hukum sangat legal formal,
kurang mau menggunakan yurisprudensi, atau karena hanya menggunakan logika
berpikir hukum kaca mata kuda merupakan penyebab utama timbulnya peradilan
tidak berwibawa.
Sebagaimana dikatakan oleh Ralf Dahrendorf,
bahwa Negara Hukum yang Demokratis mensyaratkan empat perangkat kondisi sosial,
yaitu, pertama, perwujudan yang nyata atas persamaan status
kewarganegaraan bagi semua peserta dalam proses politik; kedua,
kehadiran kelompok-kelompok kepentingan dan elite di mana tak satupun mampu
memonopoli jalan menuju ke kekuasaan, Ketiga, berlakunya nilai-nilai
yang boleh disebut sebagai kebajikan publik; keempat, menerima perbedaan
pendapat dan konflik kepentingan sebagai sesuatu yang tak terhindarkan
dan elemen kreatif dalam kehidupan social.
Jika dikaji dan ditelaah secara mendalam, setidaknya
terdapat tujuh faktor penghambat penegakan hukum di Indonesia, ketujuh faktor
tersebut yaitu :
1.
Lemahnya
political will dan political action para pemimpin negara ini, untuk menjadi
hukum sebagai panglima dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kata lain,
supremasi hukum masih sebatas retorika dan jargon politik yang didengung-dengungkan
pada saat kampanye.
2.
Peraturan
perundang-undangan yang ada saat ini masih lebih merefleksikan kepentingan
politik penguasa ketimbang kepentingan rakyat.
3.
Rendahnya
integritas moral, kredibilitas, profesionalitas dan kesadaran hukum aparat
penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat) dalam menegakkan hukum.
4.
Minimnya
sarana dan prasana serta fasilitas yang mendukung kelancaran proses penegakan
hukum.
5.
Tingkat
kesadaran dan budaya hukum masyarakat yang masih rendah serta kurang respek
terhadap hukum.
6.
Paradigma
penegakan hukum masih positivis-legalistis yang lebih mengutamakan tercapainya
keadilan formal (formal justice) daripada keadilan substansial (substantial justice).
7.
Kebijakan
(policy) yang diambil oleh para pihak terkait (stakeholders) dalam mengatasi
persoalan penegakan hukum masih bersifat parsial, tambal sulam, tidak
komprehensif dan tersistematis.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dengan melihat beberapa hambatan dalam penegakan hukum di
atas dan realitas kekinian pemimpin bangsa ini, maka prospek penegakan hukum ke
depan dapat dikatakan masih suram mengingat persoalan kuncinya justru terletak
pada faktor kepemimpinan bangsa yang lemah dan pembusukan dunia peradilan yang
sudah parah. Untuk keluar dari lingkaran setan di atas, maka ada beberapa
agenda mendesak yang perlu dicermati.
Pertama,
perubahan ke depan harus dimulai dari atas, yaitu dari adanya pemimpin yang
kuat, visioner dan berani memulai perubahan dari dirinya, keluarganya dan para
kroninya. Penegakan hukum harus tanpa pandang bulu sehingga mampu memberikan
shock therapy kepada bawahannya dan masyarakat umumnya.
Kedua,
perubahan signifikan berikutnya yang harus dilakukan adalah pembersihan dunia
peradilan dari para mafia peradilan yang merusak dan menghambat terwujudnya
penegakan hukum di Indonesia. Para pemimpin politik di eksekutif dan legislatif
harus memperkuat tekanan kepada aparat penegak hukum melalui proses fit and proper
test yang berkualitas dalam memilih dan merekrut aparat penegak hukum seperti
hakim-hakim di MA.
Ketiga,
harus ada akselerasi kualitas dan pemerataan pendidikan masyarakat sehingga
mereka mampu menjadi a critical mass yang mampu mengawal proses
penegakan hukum secara partisipatif.
Jika ketiga agenda-agenda besar di atas mampu dibangun dan
disiapkan dari sekarang, maka ke depan prospek penegakan hukum bisa jadi akan
terus menuju perbaikan secara bertahap dan signifikan. Dalam
kondisi penegakan hukum parsial, maka menjadi tidak mudah membangun kepercayaan
masyarakat pada aparat penegak hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Hakim G Nusantara, 2009, Menuju Negara
Hukum Indonesia: Refleksi keadaban
publik dan prospek Transisi demokrasi di Indonesia. Jakarta
Plato, dalam Sukarno Aburaera, Menakar Keadilan
dalam Hukum. Artikel dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XXI No.252
Bulan November 2006, IKAHI, Jakarta
Prof. Dr.
Mahfud MD. SH, SU, 2009, (Ketua Mahkamah Konstitusi RI, Guru Besar HTN
Fakultas Hukum UII) Prospek dan
Tantangan Aparat dan Institusi Penegak Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana yang
Berkeadilan: Yuridis Penegakan Hukum Pasca Reformasi Indonesia.
Saldi
Isra, SH, MPA, 2005, Perspektif Hukum,
oleh (Dosen Hukum Tata Negara UNAND, Ketua Forum Peduli Sumatera Barat)
Website
http://realitas penegakan hukum pasca
reformasi.blogspot.com
http://faktor-faktor penghambat penegakan hukum di indonesia
good article
BalasHapusHow to get on the 1xbet korean betting platform
BalasHapus1xbet is 바카라사이트 one of the biggest online betting sites in North America. deccasino It was launched back in 2018 and it is now active 1xbet across many platforms,